Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi hijau alias green inflation (greenflation) berpotensi dialami Indonesia di sektor ketenagalistrikan, utamanya atas potensi lonjakan harga listrik akibat transisi energi yang terlalu dipaksakan.
Istilah greenflation sempat mencuat dalam acara Debat Cawapres akhir pekan lalu. Secara umum, greenflation merupakan fenomena inflasi atau kenaikan harga secara drastis akibat suatu aktivitas investasi berkaitan energi terbarukan.
Kepala Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menggambarkan bahwa greenflation sebenarnya bukan soal transisinya, tetapi seberapa tepat kebijakan itu diambil pada suatu masa atau kondisi.
Sebagai contoh, dalam konteks pembangkit listrik, greenflation bisa dipicu kebijakan beralih ke pembangkit energi baru terbarukan (EBT) secara sembarangan, serta ketika sembrono dalam menghentikan operasi PLTU berbasis batu bara.
"Istilah greenflation disinggung itu bagus karena di Indonesia sudah ada potensinya. Terutama, soal oversupply listrik, di mana ketika transisi energi terus digenjot tanpa mendongkrak permintaan, ini hanya akan jadi beban bagi biaya penyediaan listrik," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (24/1/2024).
Sebagai gambaran, surplus pasokan listrik di Indonesia masih sekitar 4 gigawatt (GW). Sementara itu, realisasi konsumsi listrik sepanjang 2023 pun hanya 1.285 kWh per kapita, sangat rendah ketimbang rata-rata konsumsi listrik di kawasan Asean sebesar 3.672 KWh per kapita.
Baca Juga
Indef pun mencatat surplus kapasitas suplai listrik dengan energi listrik mencapai kisaran 25% dalam 1 dekade terakhir. Biaya pokok penyediaan listrik pun naik dari Rp1.333 per kWh menjadi Rp1.473 per kWh pada 2022.
Oleh sebab itu, bagi Abra, transisi energi tidak bisa dilihat secara parsial. Beberapa indikator perekonomian nasional secara umum juga harus terjaga demi terciptanya aktivitas transisi energi secara bijaksana.
Abra pun berharap pemimpin ke depan jangan hanya terjebak dalam kerangka berpikir transisi energi yang sifatnya populis semata. Misalnya, jangan sampai mendorong suntik mati PLTU batu bara hanya karena dalih isu lingkungan atau mendorong keberadaan pembangkit EBT yang biaya investasinya terbilang mahal hanya demi prestasi politis.
"Transisi energi tidak bisa pakai kerangka berpikir populis. Ada juga persoalan fundamental soal bagaimana mendongkrak demand. Misalnya, soal manufaktur yang sebenarnya bisa jadi penyerap potensial listrik EBT. Kalau manufaktur turun terus dan belum bisa tumbuh sampai 7% per tahun, ya, transisi energi buat apa. Justru cuma jadi beban," tutupnya.