Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah memperluas akses kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) di luar wilayah kerja (WK) migas. Payung hukum setingkat peraturan presiden (Perpres) diharapkan rampung bulan ini.
Selain perluasan sektor implementasi CCS, Perpres itu juga menetapkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai regulator kegiatan CCS nantinya.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi mengatakan, perluasan sektor itu nantinya bakal memungkinkan industri di luar migas ikut bertransaksi lewat skema CCS di dalam negeri dan transboundary antarnegera.
“Jadi akan lebih banyak sektor, misalnya besi baja, kaca, dan smelter bisa menggunakannya,” kata Jodi saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Di sisi lain, Jodi menerangkan, SKK Migas ditunjuk sebagai regulator pada pasar CCS yang luas itu nantinya lantaran skema bisnis dan operasi tangkap karbon lebih mirip dengan kegiatan migas.
“Di Perpresnya memandatkan SKK Migas karena memang dari sisi safety technical semua kan kira-kira konsepnya dengan mitra, sama kayak migas ketimbang narik gas keluar tapi ini kan injeksi ke dalam,” kata dia.
Baca Juga
Berdasarakan riset Boston Consulting Group (BCG), nilai pasar dari CCS pada 2030 diproyeksikan mencapai US$134 miliar, yang berasal dari kegiatan penyimpanan, transportasi hingga penangkapan karbon.
Selanjutnya, nilai transaksi CCS pada 2040 diperkirakan melesat ke angka US$440 miliar atau naik 26% dari posisi di tahun 2020 di level US$4 miliar.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan, banyak perusahaan minyak dan gas (migas) kelas wahid, seperti BP, ExxonMobil, hingga Chevron ingin menjadi operator sejumlah reservoir penyimpanan karbon di Indonesia.
Arifin mengatakan, ketertarikan sejumlah perusahaan migas global itu dipantik oleh potensi kapasitas penyimpanan atau storage karbon yang terbilang besar dari beberapa lapangan migas yang telah habis dikuras.
“Sudah banyak yang berebut masuk untuk bisa mengoperasikan lapangan-lapangan ini, Exxon, Chevron, BP sudah langsung mulai di Tangguh, selain bisa menampung karbon untuk mengurangi emisi, juga bisa mendorong industri kita nanti sebagai carbon hub,” kata Arifin di Jakarta, Rabu (5/7/2023) malam.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area dan sekitar 10 giga ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatra Basin.
Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar, yaitu sekitar 80 giga ton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 giga ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia.
“Kita bisa lakukan perdagangan, eh you mau nyimpan bayar, contohnya Jepang, Korea punya program menyimpan 100 juta ton CO2 cairnya setiap tahun, kalau carbon prices dinilai US$60 sampai US$100 per tahun, nanti potong ongkos-ongkos macam-macam, kita potensi dapat devisa dari 400 giga ton tersebut,” kata dia.
Malahan, Arifin menambahkan, Indonesia berpotensi memanfaatkan hanya 25% dari reservoir penyimpanan karbon itu hingga 2060. Sisanya, kata dia, dapat dipakai sebagai hub untuk diperdagangkan dengan beberapa negara lain yang minim fasilitas tersebut.