Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pajak Hiburan 40%-75% Ditunda, Pengusaha Ikuti Tarif Lama

Pengusaha industri jasa hiburan tetap mengikuti tarif pajak hiburan lama sambil menunggu hasil judicial review dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) Hariyadi Sukamdani dan Pengacara Hotman Paris usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024) - BISNIS/Ni Luh Anggela
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) Hariyadi Sukamdani dan Pengacara Hotman Paris usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024) - BISNIS/Ni Luh Anggela

Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha industri jasa hiburan menegaskan tetap mengikuti tarif pajak hiburan lama sambil menunggu hasil judicial review dari Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi selama kami berproses di Mahkamah Konstitusi maka pemerintahan daerah itu diharapkan untuk mengikuti tarif yang lama,” kata Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) Hariyadi Sukamdani, usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024).

Untuk diketahui, pemerintah melalui UU No.1/2022 menetapkan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan untuk penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu seperti makanan dan minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan. Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau SPA, ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Sebelumnya, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%, sedangkan untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%.

Pemerintah hanya menetapkan tarif batas atas dan tidak menetapkan tarif minimal untuk pajak hiburan pada aturan terdahulu. Aturan itu tercantum dalam Undang-undang No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.

Hariyadi menuturkan, pemerintah dalam penyusunan UU No.1/2022 tidak pernah berkonsultasi dengan pelaku usaha terkait. Pemerintah juga tidak melakukan sosialisasi ihwal rencana kenaikan tarif pajak hiburan. Dalam naskah akademik yang digunakan, tidak secara khusus membahas mengenai pajak untuk jasa hiburan. 

Asosiasi juga melihat, penetapan pajak hiburan sebagaimana tercantum dalam Pasal 58 ayat 2 UU No.1/2022, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran pelaku usaha tak sanggup membayar gaji karyawannya akibat besarnya beban biaya yang ditanggung. Ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 27 ayat 2 bahwa warga negara berhak atas pekerjaan kehidupan yang layak.

Oleh karena itu, Gipi bersama asosiasi lainnya akan menyusul Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti) untuk mengajukan pembatalan terhadap pasal 58 ayat 2 UU No.1/2022.

Sejalan dengan terbitnya Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Kesenian dan Hiburan tertentu Berdasarkan UU No.1/2022 tentang HKPD, pemerintah membuka peluang kepada kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal sebagaimana tertuang dalam pasal 101 ayat 1 UU No.1/2022. 

Hal ini juga ditindaklanjuti dengan Pasal 99 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam beleid ini, insentif fiskal dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak (WP) atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan: 

1) kemampuan membayar WP;

2) kondisi tertentu objek pajak; 

3) mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; 

4) mendukung kebijakan daerah untuk mendukung program prioritas daerah;

5) mendukung kebijakan pemerintah dalam pencapaian prioritas nasional. 

Selanjutnya memperhatikan faktor: 

1) kepatuhan membayar dan pelaporan pajak oleh WP selama 2 tahun terakhir; 

2) kesinambungan usaha WP; 

3) kontribusi usaha dan penanaman modal WP terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja; 

4) faktor lain yang ditentukan oleh Kepala Daerah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper