Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Menanti Sinyal Kuat The Fed untuk Turunkan Suku Bunga

Bank Indonesia (BI) menanti sinyal kuat dari The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan ke bawah level 6%. Kapan terjadi?
Jessica Gabriela Soehandoko,Maria Elena
Kamis, 18 Januari 2024 | 09:09
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan pemaparan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Kamis (19/1/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan pemaparan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Kamis (19/1/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) kembali menahan laju suku bunga acuan atau BI Rate di level 6%. Keputusan tersebut diumumkan usai mereka menggelar Rapat Dewan Gubernur pada Rabu (17/1/2024).

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkap alasan Dewan Gubernur BI mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6 persen pada awal tahun 2024. Dengan demikian, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Perry mengatakan keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability yaitu untuk penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025. 

Seperti diketahui, BI telah menahan suku bunga acuan di level 6% selama empat bulan berturut-turut. Pelaku pasar pun menunggu kapan kira-kira suku bunga akan turun?

Perry menyampaikan bahwa ruang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate ke depan tetap terbuka sejalan dengan arah kebijakan moneter yang pro stabilitas. Menurutnya, keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini mempertimbangkan volatilitas pasar keuangan global yang masih berlangsung.

Namun demikian, dia menjelaskan, volatilitas global yang masih terjadi lebih terkait dengan kepastian timing dan besaran penurunan suku bunga di Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR).

“Hari ini kita putuskan BI Rate tetap karena kita masih melihat on and off global tadi, dan tentu saja dengan arah ke depan, tentu saja sekali lagi saya sampaikan, ruang penurunan BI-Rate ke depan akan tetap ada,” katanya dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (17/1/2024).

Menurutnya, ruang penurunan suku bunga acuan mempertimbangkan tiga faktor. Pertama, seberapa cepat penguatan nilai tukar rupiah. 

Kedua, tetap terkendalinya inflasi, khususnya inflasi inti dan inflasi pangan. Ketiga, perkembangan dukungan kredit dalam pembiayaan ekonomi yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Era Suku Bunga Tinggi Berakhir 

Di sisi lain, Perry mengatakan bahwa ketidakpastian pasar keuangan pada awal tahun ini sudah mulai mereda. Salah satu indikatornya, tren penguatan dolar AS yang mulai berhenti dan bahwa ada kecenderungan melemah.

Dengan kondisi ini, tekanan dari penguatan dolar AS terhadap mata uang negara berkembang pun mulai berkurang, sejalan dengan kembali terjadinya aliran masuk modal asing, termasuk ke Indonesia.

BI memperkirakan, siklus kenaikan suku bunga negara maju, termasuk FFR telah berakhir. Selain itu, diperkirakan FFR akan mulai diturunkan pada semester II/2024 sebanyak tiga kali dengan total sebesar 75 basis poin.

“Kesimpulannya kami tetap sabar dan akan tetap masih sabar melihat kondisi dalam negeri dan global, tentu saja ketidaksabaran itu akan tergantung seberapa meredanya kondisi global dan memastikan inflasi terkendali,” tutur Perry.

Sebagai informasi, para pejabat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) lainnya pada Desember 2023 memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan mereka tetap stabil di kisaran 5,25% hingga 5,5%. 

Gubernur The Fed Michelle Bowman mengatakan inflasi AS dapat menurun menuju target sebesar 2% jika suku bunga dipertahankan pada tingkat saat ini dan menawarkan potensi dukungan untuk menurunkan biaya pinjaman jika tekanan harga memudar. 

“Jika inflasi terus turun mendekati target 2% kami dari waktu ke waktu, pada akhirnya akan tepat untuk memulai proses penurunan suku bunga kebijakan kami untuk mencegah kebijakan menjadi terlalu ketat,” jelas Bowman dalam sambutannya, di South Carolina Bankers Association, Kolombia.

Sementara itu, Presiden The Fed Raphael Bostic juga mengatakan bahwa inflasi telah menurun lebih dari yang dia perkiraan. Dia juga menilai bahwa kini berada dalam jalur untuk mencapai target The Fed sebesar 2%.

Tujuannya adalah untuk memastikan kini berada pada jalur yang benar. Para pembuat kebijakan juga dapat terus membiarkan kebijakan moneter tetap bersifat restriktif. 

“Kita berada dalam sikap yang membatasi dan saya merasa nyaman dengan hal itu, dan saya hanya ingin melihat perekonomian terus berkembang bersama kita dalam sikap tersebut dan semoga inflasi terus mencapai level 2%,” jelasnya.

Ekonomi Global Masih Suram 

Bank Indonesia memperkirakan diprakirakan tumbuh sebesar 3,0% pada 2023 dan melambat menjadi 2,8% pada 2024. Ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India tetap kuat didukung konsumsi rumah tangga dan investasi. Sementara itu, ekonomi China melambat seiring dengan tetap lemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai dampak lanjutan dari pelemahan kinerja sektor properti, serta terbatasnya stimulus fiskal.

"Penurunan inflasi di negara maju, termasuk AS, berlanjut, meski masih berada di atas sasaran, sementara inflasi China menurun dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat," ungkap Perry.

Siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk Fed Funds Rate (FFR), diprakirakan telah berakhir meskipun masih bertahan tinggi pada semester I 2024, dengan kemungkinan akan mulai menurun pada semester II/2024.

Lebih lanjut, Yield obligasi Pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, menurun secara gradual tapi masih berada di level tinggi sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah AS.

Tekanan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia juga berkurang. Perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing dan mengurangi tekanan pelemahan nilai tukar di emerging market, termasuk Indonesia. 

Federal Reserve (The Fed)
Federal Reserve (The Fed)

Peringatan dari IMF 

Pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) berpendapat bahwa ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed yang cepat dinilai terlalu dini.

Pasalnya, IMF menilai perjuangan melawan inflasi di Amerika Serikat (AS) belum selesai. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Direktur Pelaksana Pertama IMF, Gita Gopinath, berbicara di World Economic Forum (WEF) yang sedang berlangsung di Davos, Selasa (16/1/2024).

Dia juga mengatakan bahwa pekerjaan belum selesai karena pasar tenaga kerja masih ketat di kedua negara, setelah kenaikan tajam dalam biaya pinjaman dalam dua tahun terakhir. 

“Pasar mengharapkan bank sentral [The Fed] untuk menurunkan suku bunga secara agresif, saya pikir itu terlalu dini untuk membuat kesimpulan seperti itu,” jelasnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (16/1/2024).

IMF juga memperkirakan suku bunga akan menurun pada 2024. Namun, berdasarkan data yang ia lihat pada saat ini, mereka memperkirakan bahwa penurunan suku bunga lebih terjadi pada paruh kedua 2024. 

Pernyataannya sejalan dengan para pejabat moneter global yang menentang harapan investor terhadap pemangkasan biaya pinjaman yang agresif.

Gopinath mengamati bahwa perekonomian tetap bertahan di tengah kondisi yang ketat, sehingga peluang terjadinya resesi yang mendalam menjadi lebih kecil. 

“Kita mempunyai rumah tangga dan perusahaan dengan neraca yang lebih kuat dan kita telah melihat dampaknya namun kita juga melihat ketahanan; Pasar tenaga kerja melambat namun dengan kecepatan yang jauh lebih bertahap,” jelasnya. 

Dia mengatakan bahwa IMF merasa skenario soft landing memiliki probabilitas yang meningkat cukup besar, lantaran inflasi telah menurun tanpa perlu kehilangan aktivitas ekonomi yang begitu besar. 

Dalam jangka panjang, Gopinath mengatakan suku bunga kebijakan akan lebih tinggi dibandingkan periode setelah krisis keuangan global, ketika bank sentral berusaha meningkatkan inflasi. 

Anggota Dewan Pengurus Bank Sentral Eropa Francois Villeroy de Galhau, berbicara di panel yang sama, mengatakan bahwa dengan transformasi ekonomi, termasuk perjuangan melawan perubahan iklim, maka suku bunga akan lebih tinggi dalam jangka panjang.

Adapun, ia mengatakan bahwa suku bunga bank sentral Eropa yakni ECB dapat berada pada “normal baru” sekitar 2% secara rata-rata sepanjang siklus. 

“Masih terlalu dini untuk menyatakan kemenangan, saya sepenuhnya setuju dengan Gita [Gopinath] bahwa pekerjaan belum selesai,” kata Villeroy. 

Diaa juga mengatakan bahwa suku bunga tidak boleh lebih tinggi saat ini. Jika tidak ada ‘kejutan besar’, yakni melihat pada peristiwa di Timur Tengah, maka langkah berikutnya mungkin adalah penurunan suku bunga pada tahun ini. 

Villeroy kemudian juga sependapat dengan Gopinath mengenai prospek pertumbuhan ekonomi, dengan melihat di kedua sisi Atlantik adalah sesuatu seperti pendaratan lunak. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper