Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat pajak menilai adanya kenaikan batas bawah pajak hiburan menjadi 40% dapat berpengaruh kepada kondisi investasi di Tanah Air.
Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho menyampaikan tarif pajak hiburan yang bervariasi berpotensi menciptakan disparitas antarwilayah.
“Nantinya dapat terjadi disparitas tarif antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya, sehingga dapat mempengaruhi lokasi investasi di mana pengusaha bidang jasa hiburan menempatkan usahanya,” ungkapnya kepada Bisnis, dikutip Kamis (18/1/2024).
Mengacu Undang-Undang (UU) No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pemerintah mengatur pajak hiburan sebagai pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Dari 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 di antaranya dikenakan pajak hiburan 10%. Hanya kelompok diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dengan tarif pajak minimal 40% dan maksimal 75%.
Perlu diingat, sebelumnya pemerintah tidak menetapkan batas bawah tarif pajak tersebut dan hanya menetapkan tarif maksimal sebesar 75%.
Baca Juga
Selanjutnya, tarif pajak masing-masing wilayah diatur melalui peraturan daerah atau perda dengan membertimbangkan ekonomi daerah tersebut.
Secara umum, Adrianto memandang positif adanya kenaikan ini dalam rangka mendukung kemandirian keuangan daerah.
Menurutnya, banyak kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah yang dibatasi oleh pemerintah pusat.
Dengan demikian, pengenaan tarif batas bawah untuk pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan merupakan kompensasi agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat terjaga.
Meski nantinya disparitas yang terjadi menjadikan investor lebih selektif memilih lokasi investasi, perlu diingat bahwa pemerintah juga memberikan kelonggaran dengan adanya insentif.
“Dalam kerangka UU HKPD, pemerintah pusat dapat sewaktu-waktu membekukan pemungutan [pajak] retribusi dalam rangka mendukung kemudahan berinvestasi,” ujarnya.
Menurutnya juga, pengusaha seharusnya telah memahami kondisi ini karena UU HKPD terkait pajak hiburan telah ditetapkan 2 tahun silam dan baru berlaku per 5 Januari 2024.
Kementerian Keuangan juga menegaskan bahwa pengusaha yang merasa keberatan dengan adanya ketentuan tersebut dapat mengajukan permintaan keringanan berupa insentif kepada kepala daerah.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menjelaskan berdasarkan ayat (1) Pasal 101 UU HKPD, gubernur/bupati/wali kota boleh memberikan fasilitas pajak dan retribusi dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.
“Jika ada pelaku usaha yang keberatan, merasa belum pulih, atau UMKM, itu boleh diberikan insentif fiskal, oke tahun ini enggak 40% dulu ya, [tapi] kita lihat laporan keuangannya,” kata Lydia.
Selain itu, jika kepala daerah melihat kondisi sosial ekonomi memang memerlukan perlakuan khusus, maka insentif fiskal bisa diberikan secara massal.