Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia perlu memasuki tren transisi energi secara mulus, serta menghindari berbagai kebijakan yang memunculkan ketidakpastian investasi di sektor ketenagalistrikan.
Sebagai contoh, program pensiun dini PLTU bersinggungan dengan urusan komersial dengan mitra pemasok. Terlebih, bagi segelintir investor produsen listrik swasta (IPP) yang belum balik modal.
Di sisi lain, biaya pengembangan pembangkit listrik EBT pun belum memiliki skala keekonomian yang menguntungkan bagi semua pihak, termasuk bagaimana implikasinya terhadap harganya di tingkat pelanggan.
Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa menekankan penerjemahan transisi energi di Indonesia jangan sampai terlalu latah, terutama apabila sampai mempersalahkan keberadaan PLTU batu bara existing.
"Memang menjadi lebih hijau itu keniscayaan. Namun, yang terpenting energi listrik sebagai kebutuhan masyarakat itu prioritasnya terjangkau dan andal dulu. Baru kemudian kalau bisa bersih," jelas Iwa.
Terlebih, di tengah tantangan industrialisasi dan maraknya potensi penggunaan kendaraan listrik (EV), sumber listrik dari pembangkit EBT masih belum bisa jadi andalan PLN.
Baca Juga
"Karena era oversupply listrik pasti tidak akan berjalan lama, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bisnis, serta dorongan industrialisasi. Jadi phase out PLTU jangan sampai terlalu masif, karena kalau kebutuhan di masa depan nanti dikejar pakai pembangkit EBT saja, tidak akan cukup andal," tambahnya.
Secara umum, pembangkit EBT membutuhkan biaya investasi tinggi, pembangunan yang memakan waktu, dan mengandalkan komponen impor, terutama karena butuh teknologi baterai khusus. Selain itu, sampai saat ini harga kontrak PLN untuk pembangkit EBT masih terbilang mahal, belum ada titik tengah.
PLN pun tidak bisa menggunakan pembangkit EBT sewaktu-waktu, karena bergantung dengan kondisi kerja tertentu, seperti kondisi cuaca dan iklim. Justru PLN akan mulai mengoptimalkan kontrak-kontrak dari IPP yang belum pernah digeber mengambil beban secara penuh sesuai kapasitasnya.
Upaya untuk menjadi lebih hijau bisa digenjot lewat memperbesar porsi co-firing dengan bahan bakar biomassa di setiap PLTU batu bara. Sementara bagi PLTU yang sudah kurang efisien, perlu dimodifikasi terlebih dahulu untuk menjadi backup.
"Jerman, China, dan Jepang, pun tetap mempertahankan PLTU batu bara, kendati secara beriringan turut memperbesar EBT. Jadi IPP batu bara di sini seharusnya tidak perlu khawatir, karena seharusnya kebijakan yang diambil negara tetap akan menjaga kepastian return investasi mereka," jelasnya.
Sebagai contoh, saat ini Indonesia punya Paiton Energy, salah satu IPP jumbo di Tanah Air yang masih dalam proses akuisisi oleh perusahaan energi asal Thailand, RATCH Group dari entitas shareholder terbesar saat ini, Mitsui & Co., Ltd.
Berdasarkan keterangan terbaru RATCH Group di laman resminya per Februari 2023, akuisisi akan dijalankan oleh RH International (Singapore) Corporation Ltd, dengan porsi 36,26% di Paiton Energy dan 65% di IPM Asia Pte Ltd yang merupakan lini bisnis operasional dan pemeliharaan.
"Investasi ini diputuskan berdasarkan kewajaran target investasi kami, tingkat pengembalian yang sesuai ekspektasi, dan bagaimana dampaknya terhadap perusahaan," jelas CEO RATCH Group Choosri Kietkajornkul dalam keterangannya.
Sejatinya, rencana akuisisi RATCH Group terhadap Paiton Energy telah mencuat sejak 2021. Bahkan, saat itu Mitsui berupaya melepas seluruh sahamnya di Paiton Energy yang mencapai 45,5%. Namun, belum diketahui apa saja yang membuat transaksi ini masih belum rampung juga.
Padahal, seharusnya RATCH Group sudah bisa mengakuisisi Paiton III pada akhir Juli 2023, berdasarkan keterangan resmi di laman resmi Mitsui (mitsui.com) per 1 Agustus 2023.
Senada, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menekankan bahwa investasi IPP existing tidak akan terganggu di tengah tren transisi energi. Namun, penguatan penggunaan co-firing biomassa akan jadi kunci.
"Nantinya, pembangkit listrik baru hanya EBT. Sementara yang sudah ada, perbanyak biomassa sampai dengan 20% pada tiap PLTU, karena tidak perlu merubah konstruksi PLTU tersebut," tutupnya.