Bisnis.com, JAKARTA - Founder & CEO Mayapada Group Dato Sri Tahir buka suara terkait dengan pandangannya mengenai pertumbuhan ekonomi, termasuk sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempertahankan bahkan meningkatkan angka pertumbuhan di Tanah Air.
Dirinya mengatakan, pertumbuhan ekonomi sebenarnya tak bisa disimpulkan dengan begitu saja. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan baik atau buruknya suatu level pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negeri, misalnya Indonesia.
“Kalau bicara terkait ekonomi, kita enggak bisa bicara hanya soal Indonesia. Jika kita bicara growth, itu relative. Tidak ada yang namanya absolute growth,” ujar Dato Sri dalam A Day with Dato Sri Tahir: Mimpi Sang Filantrofis Indonesia, dilansir pada Rabu (13/12).
Baiknya suatu pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh apa yang membangun pertumbuhan itu sendiri. Dia mengatakan jika pertumbuhan ini dipicu oleh sifat konsumtif, maka hasilnya tidak akan bagus. Sebaliknya, jika dipicu oleh sifat produktif maka pertumbuhan ini adalah pertumbuhan yang solid.
Dato Sri mengungkapkan, tahun depan merupakan tahun yang cukup dipenuhi kekhawatiran terkait dengan ekonomi, salah satunya adalah resesi. Namun efeknya dapat ditekan sedemikian rupa oleh sejumlah kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti hilirisasi.
Dirinya menuturkan hilirisasi perlu diperluas, tak hanya fokus dalam satu komoditas tambang atau mineral seperti nikel, timah atau batu bara. Apalagi jika disempurnakan dengan aturan yang menunjang, efeknya akan besar bagi ekonomi dari Indonesia.
Baca Juga
“Kita memang diselamatkan oleh community price. Tapi pemerintah mengambil langkah bijaksana dengan melakukan hilirisasi. Added value untuk komoditas kita bertambah, which is good,” jelasnya.
Di sisi lain, dia menyebut subsidi yang bersifat konsumtif bisa diganti dengan subsidi bersifat produktif. Selain itu, windfall profit juga bisa menjadi penyelamat ekonomi dari Indonesia.
Hal lainnya yang bisa turut menunjang pertumbuhan ekonomi tanah air hingga menekan efek resesi adalah pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini merupakan kunci pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dari Indonesia.
“Jadi fokus pembangunan infrastruktur yang diambil oleh pemerintah adalah langkah yang very-very right, bukan hanya bicara soal pemerataan dan lain-lain. Memang sekarang kita belum bisa melihat efeknya namun we do believe in twenty year or fifty year later, our new generation will enjoy it,” ujarnya.
Adapun hal lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah menghadirkan ekosistem sampai kebijakan yang dapat mengakomodir sektor industri-industri lokal yang belum optimal.
Terakhir, Dato Sri mengatakan, dorongan pemerintah akan menjadi blessing tak hanya untuk perkembangan bisnis namun juga ekonomi dari Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Dato Sri Tahir merupakan pendiri dari Mayapada Group sekaligus orang terkaya ke-10 di Indonesia.
Melansir dari Forbes, Kamis (14/12/2023), dirinya memiliki total kekayaan sekitar US$4,3 miliar atau sekitar Rp66,48 triliun (asumsi kurs Rp15.460) yang berasal dari beragam bidang, seperti perbankan, kesehatan, dan real estat.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 sebesar 5%, kemudian melambat menjadi 4,9% pada 2024 dan 2025. Selanjutnya, ekonomi Indonesia pada 2026 diperkirakan kembali tumbuh pada level 5%.
Menurut Bank Dunia, perkiraan pertumbuhan tersebut mencerminkan kondisi perdagangan yang lebih lemah. Risiko dari sisi eksternal dinilai akan lebih menantang karena perlambatan perdagangan ini, juga tekanan dari sisi pembiayaan global.
“Pergeseran struktural dalam pertumbuhan jangka panjang menghadapi tantangan dari lingkungan eksternal yang lebih bergejolak dan tidak stabil, yang tidak hanya terjadi di Indonesia,” kata Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Habib Rab dalam acara peluncuran Indonesia Economic Prospects Desember 2023, Rabu (13/12/2023).
Di satu sisi, Indonesia telah diuntungkan oleh surplus transaksi berjalan selama hampir 2 tahun, yang sebagian besar didorong oleh booming komoditas. Tapi, efek dari booming komoditas ini mulai menurun, terutama pada kuartal II/2023.
Sementara, di sisi lain, tantangan yang lebih besar, yaitu pada neraca finansial, terutama dengan kondisi higher for longer suku bunga di Amerika Serikat. Hal ini memberikan tekanan pada pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Tercermin, arus modal keluar dari pasar keuangan domestik meningkat menjadi 0,3 hingga 0,5% dari PDB pada periode Agustus dan Oktober 2023. Meski tidak signifikan, arus modal keluar ini memberikan tekanan pada nilai tukar dan cadangan devisa.
Lebih lanjut, Bank Dunia menilai bahwa memburuknya kondisi global, termasuk ketidakpastian geopolitik dan guncangan terkait perubahan iklim dapat mengganggu rantai nilai global dan mendorong penurunan kinerja perdagangan yang lebih tajam, yang mungkin mengakibatkan penerimaan yang lebih rendah dan posisi fiskal yang lebih ketat bagi Indonesia.
Sementara dari dalam negeri, dengan pergantian pemerintahan pada 2024, Bank Dunia menilai ada risiko kehilangan momentum dalam pelaksanaan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing, yang dapat berdampak pada pertumbuhan.