Bisnis.com, JAKARTA — Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti masyarakat Indonesia yang makin banyak mengonsumsi rokok murah. Golongan tarif cukai yang terlalu banyak dianggap menjadi biang keroknya.
CEO dan Founder CISDI, Diah Satyani Saminarsih mengatakan kebijakan pemerintah menerapkan 8 golongan tarif cukai untuk produk tembakau telah memicu alternatif bagi perokok beralih mengkonsumsi jenis rokok yang lebih murah. Di sisi lain, batas maksimal untuk cukai tembakau dalam UU No. 39/2007 sebesar 57% pun belum pernah diterapkan secara optimal.
"Temuan kami di studi 2021, mengkonfirmasi hal tersebut yakni sekitar 1/4 perokok akan beralih ke harga rokok yang lebih murah," ujar Diah, Selasa (12/12/2023).
Di sisi lain, angka prevalensi perokok anak terus mengalami peningkatan dari 7,2% pada 2013 menjadi 10,7% pada 2019. Apabila pemerintah tidak mengendalikan, kata Diah, prevalensi perokok naka diperkirakan mencapai 16% pada 2030.
Studi CISDI lainnya menunjukkan bahwa beban ekonomi negara akibat kasus penyakit terkait rokok pada 2019 mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun untuk biaya kesehatan.
Dia menekankan, salah satu faktor yang menyebabkan prevalensi perokok di Indonesia tidak kunjung turun yakni karena harga produk tembakau yang terjangkau. Masyarakat Indonesia sangat mudah untuk mengakses produk tembakau atau rokok, termasuk kalangan ekonomi kelas bawah.
Baca Juga
Bahkan, studi CISDI menunjukkan harga rokok pada 2021 ternyata 3,6 kali lipat lebih terjangkau dibandingkan harga pada 1998. Elastisitas harga terhadap kemungkinan berhenti merokok jauh lebih rendah dibandingkan negara dengan pendapatan menengah ke atas.
"CISDI mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan berbasis bukti atau evidence policy. Hasil kajian kami hari ini menegaskan bahwa harga rokok memiliki dampak yang signifikan secara statistik terhadap keputusan seseorang atau populasi untuk berhenti merokok," tuturnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), sekaligus peneliti, I Dewa Gede Karma Wisana menjelaskan, sebenarnya kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai yang lebuh tinggi bakal meningkatkan kemungkinan berhenti merokok secara lebih signifikan.
Hal itu seiring hasil riset CISDI menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok sebesar 10% dapat meningkatkan probabilitas berhenti merokok sekitar 0,11 - 0,17%.
Namun, realitanya meskipun harga rokok sudah meningkat, di sisi lain kapasitas masyarakat untuk menjangkau atau mengakses rokok semakin baik. Pasalnya kenaikan harga rokok cenderung lebih rendah dibandingkan peningakatan pendapatan masyarakat.
"Hal ini membuat kita mampu menjangkau rokok lebih banyak lagi," katanya.
Selain itu, keterjangkauan rokok masih cukup baik di Indonesia lantara para perokok mampu menemukan pengganti dari rokok-rokok yang mengalami kenaikan harga. Rokok murah banyak beredar di pasaran sehingga para perokok mudah mengganti rokok ke yang lebih murah.
"Salah satu aspek yang menyebabkan harga rokok murah, dugaan kita adalah struktur cukai yang berlapis cukup banyak, membuat harga rokok murah beredar di pasaran jauh lebih banyak. Perbedaan antara harga rokok yang paling murah dan yang paling mahal itu semakin jauh jadi piliahanya lebih banyak lagi, dan ini yang menghambat kenaikan harga rokok rata-rata," jelasnya.