Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan di depan UN Climate Change High Level Champions and Marrakech Partnership COP28 di Dubai, bahwa Indonesia membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk transisi energi.
Dalam pertemuan pada 4 Desember 2023 tersebut, Sri Mulyani memaparkan seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk Indonesia melakukan transisi energi, terlebih RI memiliki banyak pembangkit listrik yang menggunakan batu bara.
“Sebagai Menteri Keuangan saya akan menggunakan kesempatan ini untuk memaparkan berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan transisi energi di Indonesia,” ujarnya, dikutip dari Instagram @smindrawati, Selasa (5/12/2023).
Dirinya menggambarkan melalui kasus nyata yang tengah RI lakukan, yaitu upaya memensiundinikan 660 megawatt PLTU Cirebon.
Untuk mengimplementasikan agenda uji coba ini saja, Indonesia banyak menemui tantangan, terutama dari segi pembiayaan. Pasalnya, Just Energy Transition Partnership (JETP) mengidentifikasi kebutuhan investasi untuk mempercepat masa operasi PLTU itu mencapai US$300 juta.
“Ini biaya hanya untuk pensiun dini 660 megawatt PLTU batu bara. Di Indonesia, kami punya 35.000 megawatt. Anda bisa bayangkan berapa biaya yang dibutuhkan,” ungkap Bendahara Negara tersebut.
Baca Juga
Mengambil perhitungan tersebut, jika untuk 660 MW membutuhkan biaya US$300 juta, artinya untuk 35.000 MW, pemerintah butuh sekitar US$15,9 miliar. Biaya ini baru untuk pensiun dini batu bara, belum transisi energi lainnya.
Untuk itu, Sri Mulyani menekankan bahwa peranan bauran pembiayaan atau blended finance sangat penting. Keterlibatan Multilateral Development Bank (MDB), filantropi, sektor swasta sangat diperlukan agar transisi energi dapat terwujud.
Di sisi lain, Indonesia juga terus merumuskan berbagai regulasi untuk mendukung climate agenda ini. Indonesia telah meluncurkan carbon market yang menjadi langkah RI untuk mencoba transisi energi.
“Saya sendiri sebagai Menteri Keuangan akan terus berupaya mendorong climate agenda ini dari sisi keuangan dan kebijakan fiskal Indonesia. Tanpa sumber daya keuangan dan pembiayaan, climate agenda hanya akan menjadi climate agenda. Let’s take action now!” tutupnya.
Adapun, salah satu kesepakatan dalam COP28, yaitu pelaksanaan suntik mati PLTU Cirebon-1 yang akan terlaksana pada 2035, atau 7 tahun lebih cepat dari yang seharusnya.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah juga terus mendorong berbagai instrumen pembiayaan yang berbasis kepada hijau, seperti Green Sukuk dan SDG Bond terutama untuk membangun proyek-proyek yang berorientasi ramah lingkungan.
Pemerintah juga mendorong instrumen alternatif seperti blended finance untuk memperkuat skema pembiayaan dari lembaga donor internasional seperti kemitraan dengan ADB, kemudian ada beberapa mekanisme transisi energi.
Pemerintah juga terus membangun PLT EBT on grid seperti PLTS Terapung, PLTS atap, dan co-firing biomassa PLTU eksisting di mana saat ini pemanfaatan biomassa sudah mencapai 306.000 ton.
Selain itu di sektor non listrik, pengembangan Biofuel di Indonesia akan terus dikembangkan, baik dari biodiesel (bioetanol, HVO dan Bioavtur), CPO, non-CPO, maupun perusahaan industri skala besar serta masyarakat.
Kebijakan berkelanjutan lain diantaranya yakni melalui pengembangan ekosistem electric vehicles dan pengembangan 20 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ramah lingkungan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
“Pemerintah berharap berbagai stakeholders untuk ikut berinovasi mendukung kebijakan hilirisasi serta transisi ekonomi hijau,” ujar Airlangga.