Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tiru China, Indonesia Mau Batasi Harga Bawah Barang Tokopedia Cs

Pemerintah tengah mendorong pengaturan larangan e-commerce, seperti Shopee hingga Tokopedia, menjual produk di bawah harga pokok produksi (HPP).
Ilustrasi konsumen yang berbelanja secara daring melalui e-commerce di ponsel mereka/Freepik
Ilustrasi konsumen yang berbelanja secara daring melalui e-commerce di ponsel mereka/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki tengah mendorong dirumuskannya aturan mengenai larangan e-commerce menjual produk di bawah harga pokok produksi (HPP).

Aturan ini diusulkan untuk mencegah praktik dumping hingga predatory pricing di dalam platform dagang digital, seperti Tokopedia, Shopee, dan lainnya. Menurut Teten, pengaturan serupa telah diterapkan oleh China. Dia pun ingin meniru langkah China tersebut guna melindungi UMKM.

Teten menyebut, konsep aturan HPP di e-commerce telah disetujui dalam rapat tingkat menteri. Aturan HPP direncanakan masuk dalam revisi Permendag No.31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Namun, Teten menuturkan bahwa pembahasan lebih lanjut baru bisa dilakukan usai evaluasi Permendag No.31/2023 dalam beberapa bulan mendatang.

"Jadi kita tunggu 2 bulan lagi, tapi itu harus. Kalau kita melihat bagaimana China menjaga jangan sampai pasar digital mereka didominasi sama satu platform, mereka menerapkan aturannya," ujar Teten, Selasa (28/11/2023).

Dia juga belum bisa memastikan apakah aturan HPP akan berlaku untuk semua barang di e-commerce atau hanya produk kategori tertentu. Teten mengatakan, bakal segera bertemu dengan para asosiasi untuk untuk berdiskusi lebih lanjut. Dia pun optimistis Indonesia bisa menerapkan aturan HPP di e-commerce seperti yang China lakukan.

"Saya akan bicara dengan asosiasi, misalnya tekstil, garmen, elektronik, mereka harus punya HPP," katanya.

Ihwal pengawasan, Teten juga mengusulkan adanya denda terhadap pelaku usaha yang menjual produk di bawah HPP. Dengan begitu, produk yang dijual di pasar offline, kata Teten, masih bisa bersaing dengan yang dijual di e-commerce.

"Harus ada denda, di China itu 0,1-0,5 omzet tahunan, berat sekali. Nah, ini nanti akibatnya e-commerce tidak bisa lagi melakukan burning money untuk memperbesar market share mereka," ucapanya.

Sebelumnya, Teten menyoroti bahwa selama ini UMKM di pasar fisik (offline) tidak bisa bersaing lantaran harga barang yang dijual di e-commerce terlalu murah. Dia mengakui selama ini para platform e-commerce sengaja membakar uang untuk meningkatkan valuasi bisnis melalui pemberian subsidi harga jual produk hingga ongkos kirim.

"Itu [bakar uang] sepertinya sah-sah saja dari sisi persaingan antara e-commerce, tapi itu memukul UMKM. Bisa enggak di Tanah Abang bersaing dengan harga baju Rp100 yang dijual di TikTok? Kan enggak," tuturnya.

Implementasi sulit

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan, usulan aturan HPP di e-commerce memerlukan pembahasan lebih dalam.

"Belum, nanti kita bahas dulu. Itu kan [aturan HPP di e-commerce] sulit," ujar Isy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (27/11/2023).

Isy mengakui bahwa aturan HPP di e-commerce akan sulit dibuktikan. Pasalnya, menurut Isy selama ini uang penjualan produk mengalir terlebih dahulu melalui platform e-commerce.

Lebih lanjut, Kemendag juga perlu melibatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membahas terkait dengan adanya strategi bakar uang oleh e-commerce yang membuat harga produk menjadi lebih murah dari HPP.

"Yang harganya di bawah HPP itu kan sulit membuktikan, jadi ini harus ada diskusi mendalam, masih panjang lah FGD-nya," ucapnya.

Senada, Pengamat ekonomi digital Ignatius Untung menilai aturan harga minimum produk di e-commerce sesuai HPP masuk akal untuk mencegah predatory pricing. Namun, menurutnya, implementasi dan pengawasannya tidak semudah yang dibayangkan.

"Itu barang yang dijual [di e-commerce] kan jumlahnya jutaan, gimana tahunya itu HPP-nya berapa?," ujar Untung saat dihubungi, Jumat (24/11/2023).

Menurutnya, HPP produk tidak bisa dipukul rata, karena masing-masing produsen memiliki HPP tersendiri. Di sisi lain, menurutnya produsen akan cenderung merahasiakan HPP mereka.

"Itu kan dapur orang ya, mereka kan harus berusaha bersaing nah salah satu caranya mereka bersaing adalah merahasiakan HPP dong," ucapnya.

Adapun, apabila HPP ditentukan oleh asosiasi, Untung mengatakan, tidak semua produsen ataupun industri memiliki asosiasinya tersendiri. Sebaliknya, apabila HPP ditentukan oleh produsen, justru akan sulit menjamin kebenarannya.

"Kalau HPP ditentukan masing-masing produsen, itu dari mana taunya kalau produsennya jujur soal HPP?," ucapnya.

Dia menganalogikan rencana aturan HPP di e-commerce dengan kebijakan standar nasional Indonesia (SNI). Sebagaimana diketahui, pemerintah mewajibkan setiap produk yang dijual di Indonesia memenuhi SNI. Sayangnya, kata Untung, kebijakan SNI pun tidak dibekali dengan mekanisme pengecekan atau validasi label SNI di suatu produk.

"Akhirnya banyak barang beredar dengan logo SNI di kemasannya, apakah dengan logo itu sudah pasti dia [produk] SNI? kan enggak, nyetak logo tulisan SNI kan gampang murah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper