Bisnis.com, JAKARTA - PT Krakatau Posco, perusahaan patungan antara PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) dan Posco Korea segera merealisasikan penambahan fasilitas manufaktur bahan baku baja senilai US$3,3 miliar atau setara Rp51,64 triliun (asumsi kurs US$15.649 per US$).
Direktur Utama KRAS Purwono Widodo mengatakan, investasi ini melanjutkan tahap pertama yang telah beroperasi untuk memproduksi turunan hot rolled coil (HRC). Tahap kedua ini akan digunakan untuk menambah kapasitas produksi baja di industri hulu.
"Seharusnya tahun ini FS [feasibility study] dan sebagainya, termasuk pendanaan. Tahun 2024 sudah mulai [konstruksi] karena kalau nggak, kita kekurangan bahan baku, itu kan menghasilkan slab," kata Purwono, Kamis (9/11/2023).
Saat ini, realisasi investasi pabrik baja yang telah dilangsungkan Krakatau Posco, yakni sebanyak 3 juta ton. Adapun, pada tahap kedua nanti Purwono akan menambah 3 juta ton sehingga total 6 juta ton.
Dia memastikan tambahan kapasitas produksi akan berlangsung pada 2024. Hal ini seiring dengan dorongan dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menagih proyek pabrik baru tersebut.
Purwono menjelaskan, mandeknya realisasi investasi tersebut dikarenakan alotnya rencana untuk mewujudkan green steel industry. Terlebih, ada dorongan dari Kementerian Perindustrian untuk mewujudkan net zero emission (NZE) di sektor industri pada 2050, lebih cepat 10 tahun dari target nasional.
Baca Juga
Adapun, Krakatau Posco memiliki pabrik pengerolan baja lembaran panas atau hot rolling plant (HRP) di Cilegon dengan target mewujudkan klaster baja 10 juta ton pada 2025.
Di samping itu, Menko Bidang Perekonomian Airlangaa mewanti-wanti pengusaha di industri baja untuk mengambil antisipasi atas penerapan carbon borden adjusment mechanism (CBAM) pada tahun 2025.
"Tentu, targetnya ke industri baja. Oleh karena itu, kita harus bangkitkan dekarbonisasi sehingga ekspor market kita bisa menerima produk kita yang lebih hijau," ujar Airlangga.
Menurut Airlangga, dengan pengembangan green steel dan blast furnace hilirisasi batu bara, Indonesia sebagai salah satu dari "The Largest Steel Producer" dan memiliki peluang yang besar untuk masuk ke pasar global.
Terlebih, demand 1,5 juta ton untuk industri otomotif menjadi potensi yang dapat dimanfaatkan karena baru 900.000 kebutuhan baja otomotif yang dipenuhi oleh produsen baja nasional.
"Dengan begitu, diharapkan industri baja dapat 'terbang' untuk menghasilkan lebih banyak lagi devisa untuk negara," pungkasnya. .