Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penggunaan Bioavtur Berisiko Kerek Harga Tiket Pesawat

Penggunaan bioavtur diproyeksikan bakal mengerek harga tiket pesawat sebesar US$3-US$14 pada 2030.
Kesibukan penerbangan pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (28/11/2022). Bisnis/Paulus Tandi Bone
Kesibukan penerbangan pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (28/11/2022). Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, MANGUPURA - Penggunaan bioavtur diproyeksikan bakal mengerek harga tiket pesawat sebesar US$3-US$14 pada 2030.

General Manager Green Energy Apical Group Aika Yuri Winata mengatakan, kenaikan harga tiket pesawat yang menggunakan bioavtur disebabkan oleh biaya produksi yang tinggi dan pasokan terbatas. Aika mengatakan  bahkan tiket pesawat diperkirakan akan naik sekitar US$13 - US$38 pada 2050 untuk penerbangan yang lebih berkelanjutan.

"Biaya tambahan dari adopsi SAF [Sustainable Aviation Fuel] diperkirakan mencapai miliaran hingga triliunan dolar bagi produsen bahan bakar," ujar Aika di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC), Kamis (2/11/2023).

Menurutnya, korporasi telah menjalin kemitraan dengan Cepsa untuk membangun pabrik biofuel generasi kedua di Eropa Selatan dengan kapasitas 500.000 ton per tahun untuk memproduksi bioavtur dari limbah pertanian. Aika menyebut, upaya transisi ke bioavtur dapat mengurangi emisi karbon hingga 90% atau setara dengan pengurangan substansial sebanyak 1,5 juta ton CO2 per tahun.

Dia menuturkan, sektor penerbangan global berkontribusi terhadap emisi CO2 hingga 3% pada 2019. Sektor penerbangan, kata dia, menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk melakukan dekarbonisasi dan mencapai komitmen net zero emission pada 2050.

Adapun, saat ini, penggunaan bioavtur baru mencapai 0,1% dari total penggunaan bahan bakar pesawat.

"Transisi ke SAF tidaklah tanpa tantangan, termasuk biaya produksi tinggi dan pasokan terbatas karena pembatasan pada beberapa jenis biomassa," katanya.

Dia menambahkan, Asean mampu menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton limbah minyak nabati setiap tahunnya seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan destilasi asam lemak kelapa sawit. Harga bahan baku tersebut dianggap relatif lebih rendah dan berpotensi menjadi kunci dalam produksi bioavtur secara masal.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi bioavtur bakal dilakukan secara masif mulai 2026.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, saat ini proses uji coba bioavtur sudah dilakukan dengan campuran 2,4% minyak nabati dalam bahan bakar pesawat dan berhasil.

"Pertamina berencana untuk meluncurkan Cilacap Green Refinery pada tahun 2026 berbasis waste feedstock," ujar Yudo di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (1/11/2023).

Setali tiga uang dengan Aika, Yudo mengakui bahwa tantangan bioavtur adalah biaya produksi yang cukup tinggi, karena itu diperlukan insentif ekonomi dari produksi bioavtur.

"Kolaborasi dengan berbagai partner baik dalam kerja sama pengembangan produk dan juga teknologi terus didorong untuk dapat memproduksi bioavtur," kata Yudo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper