Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ringgit Anjlok Parah, Bank Sentral Malaysia Ogah Naikkan Suku Bunga

Bank Sentral Malaysia (BNM) menahan suku bunga acuan di level 3%, meskipun nilai tukar ringgit runtuh dalam beberapa waktu terakhir.
Uang kertas 50 ringgit Malaysia di sebuah toko penukaran mata uang di Kuala Lumpur, Malaysia./Bloomberg
Uang kertas 50 ringgit Malaysia di sebuah toko penukaran mata uang di Kuala Lumpur, Malaysia./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Bank sentral Malaysia (BNM) mempertahankan suku bunga acuan di level 3% pada Kamis (2/11/2023). BNM mengisyaratkan bahwa mereka mungkin akan memperpanjang jeda karena mereka terus mengelola risiko di tengah melemahnya mata uang ringgit.

Bank Negara Malaysia mempertahankan suku bunga kebijakan di level 3% untuk pertemuan ketiga berturut-turut. Keputusan tersebut seperti yang diprediksi oleh 21 ekonom dalam survei Bloomberg. BNM mengatakan akan memastikan sikap kebijakan moneter tetap kondusif untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di tengah stabilitas harga.

"Ekspektasi tingkat suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama di AS, dan meningkatnya kekhawatiran akan eskalasi ketegangan geopolitik telah berkontribusi pada dolar AS yang terus menguat," kata BNM dilansir dari Bloomberg, Jumat (3/11/2023). 

BNM juga mencatat dampaknya terhadap mata uang-mata uang negara maju dan negara berkembang, termasuk ringgit. Pasalnya, ringgit Malaysia yang merupakan salah satu mata uang dengan performa terburuk di Asia sepanjang tahun ini.

Meskipun begitu, BNM mengatakan perkembangan-perkembangan ini diperkirakan tidak akan menggagalkan prospek pertumbuhan Malaysia.

"Kami akan terus mengelola risiko-risiko, termasuk dengan menyediakan likuiditas dan memastikan pasar valuta asing dalam negeri yang teratur," jelasnya. 

Keputusan menahan suku bunga acuan melawan tren pengetatan di wilayah ini. BNM juga menyoroti dilema Malaysia yang berada di tengah-tengah antara ringgit mencetak performa terburuk sejak krisis 1998 dan inflasi yang rendah selama 30 bulan.

Di sisi lain, Filipina dan Indonesia melanjutkan kenaikan suku bunga dalam beberapa minggu terakhir untuk memperkuat mata uang mereka, sikap Malaysia mempertahankan suku bunga pada rekor diskon relatif terhadap suku bunga Federal Reserve (The Fed).

Pada Kamis (2/11/2023), nilai tukar ringgit  naik 0,4% menjadi 4,7528 terhadap dollar, mempertahankan kenaikan setelah keputusan yang telah diperkirakan secara luas.

Mata uang Negeri Jiran ini menguat mengikuti sebagian besar mata uang Asia setelah Ketua The Fed Jerome Powell mengisyaratkan bahwa siklus pengetatan AS mungkin akan berakhir.

Sementara The Fed membiarkan pintu terbuka untuk kenaikan lainnya, para pembuat kebijakan Malaysia mengatakan mereka siap untuk mengelola volatilitas yang meningkat yang mungkin terjadi.

Perdana Menteri Anwar Ibrahim sebelumnya mengatakan bahwa dia sedang mengusahakan pemisahan diri dari dolar AS dalam jangka panjang untuk mempertahankan ringgit.

Tamara Mast Henderson, Ekonom Bloomberg mengatakan keputusan untuk menahan suku bunga menunjukkan pertumbuhan sebagai prioritas yang lebih besar, sebuah perubahan dari inflasi.

"Pergeseran ini, yang mengindikasikan bahwa suku bunga kebijakan telah mencapai puncaknya dalam siklus, cukup bijaksana menjelang kemungkinan penurunan permintaan global. Kami memperkirakan BNM akan mempertahankan suku bunga kebijakannya tidak berubah sampai tahun 2024, kecuali jika terjadi resesi global yang dalam atau berkepanjangan," ujar Henderson. 

Bahasa BNM, menurut Winson Phoon, kepala riset pendapatan tetap di Maybank Securities Pte yang berbasis di Singapura, mengisyaratkan perpanjangan jeda pada suku bunga acuan hingga 2024.

"Tidak ada kejutan dari pertemuan Komite Kebijakan Moneter mengenai keputusan suku bunga dan bahasa pernyataan kebijakan, dengan kata-kata yang sama persis dengan sikap kebijakan moneter di bulan September," katanya.

Bank sentral Malaysia mengatakan pihaknya memperkirakan aktivitas ekonomi akan membaik pada kuartal ketiga, dan pertumbuhan pada tahun 2024 akan didukung oleh permintaan domestik yang kuat. Pada saat yang sama, bank sentral memperkirakan inflasi akan tetap rendah.

"Risiko terhadap prospek inflasi tetap sangat bergantung pada perubahan kebijakan domestik pada subsidi dan kontrol harga, serta harga komoditas global dan perkembangan pasar keuangan," kata BNM. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper