Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Petani Was-Was Soal Denda Lahan Sawit di Kawasan Hutan

Petani merasa was-was terhadap aturan pemerintah mengenakan denda terhadap lahan sawit di kawasan hutan.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Aturan pemerintah mengenakan denda administratif terhadap lahan sawit di kawasan hutan berisiko pada industri kelapa sawit dan kesejahteraan petani.

Sebagaimana diketahui pemerintah tengah mengebut pelepasan status kawasan hutan untuk kebun sawit yang sebelumnya telah mengantongi izin usaha. Adapun batas waktu pendaftaran pelapasan status kawasan hutan tersebut paling lambat 2 November 2023

UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja membagi dua tipologi kebun sawit di dalam kawasan hutan. Tipologi pertama diatur dalam pasal 110 A yakni untuk kebun sawit di dalam kawasan hutan yang sebelumnya telah mengantongi izin. Kedua, yakni kebun sawit di dalam kawasan hutan yang belum memiliki izin alias ilegal diatur dalam pasal 110 B.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Seluruh Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung meyakini bahwa petani yang kebunnya masuk dalam kawasan hutan tidak akan mampu membayar denda tersebut. Sebanyak 5,8% dari total 3,37 juta hektare luas kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan merupakan milik petani rakyat.

Adapun, dari 200.000 hektare kebun sawit di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang tidak berizin juga dominan dimiliki oleh petani. Gulat menyebut luasnya mencapai 65% dari 200.000 hektare tersebut. 

"Ya cukup lumayan dan dipastikan kami tidak akan mampu membayar," ujar Gulat saat dihubungi, Rabu (1/11/2023).

Gulat pun memproyeksikan sebanyak 2,7 juta hektare lahan sawit nantinya bakal masuk dalam aturan pasal 110 B yang mana dikenakan denda administratif sekaligus kesempatan usaha hanya 1 kali daur atau sekitar 25 tahun.

Dia menyebut dampak dari pengenaan sanksi tersebut berisiko memangkas produksi crude palm oil (CPO) hingga 10 juta ton setiap tahunnya. Bahkan, berisiko menimbulkan kerusuhan di sentra-sentra perkebunan sawit.

"Kita akan kehilangan uang Rp125-145 triliun per tahun dari perputaran hulu-hilir sawit. Negara akan kehilangan ratusan triliun dari pajak-pajak, BK dan pungutan ekspor dari 2,7 juta hektare tadi. Dan yang paling berbahaya adalah dampak sosial, ekonomi," kata Gulat.

Setali tiga uang, anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika pun mengkhawatirkan hal serupa. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan aturan denda tersebut.

Musababnya, basis industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir dinilai sangat kompleks. Denda administratif itu dikhawatirkan akan dibebankan industri sawit kepada harga Tandan Buah Segar (TBS) petani yang kemungkinan besar menjadi anjlok hingga pasokan CPO maupun minyak goreng menjadi terganggu.

Dia pun mengaku telah meminta KLHK untuk memitigasi risiko-risiko tersebut agar momentum Pemilu 2024 berjalan kondusif. Oleh karena itu, dia mengatakan adanya usulan penundaan penerapan aturan hingga peluang mekanisme cicilan untuk membayar denda bagi pelaku usaha.

"Bukan dibebaskan [dari sanksi]. Pada intinya Ombudsman hanya ingin memastikan kenyamanan dan kepastian berusaha itu harus terjamin. Penerapan hukum juga terjamin," kata Yeka di Kantor Ombudsman, Selasa (31/10/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Rachmawati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper