Bisnis.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono menegaskan kebun sawit di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi (HK) harus dikembalikan kepada negara.
Toleransi pelepasan status kawasan hutan hanya bisa diberikan kepada kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan produksi dan area penggunaan lain (APL), tapi tidak untuk sawit di hutan lindung dan hutan konservasi.
Dia menyebut saat ini ada sekitar 200.000 hektare lahan sawit ilegal yang berada dalam kawasan HL dan HK. Menurutnya, pelaku usaha yang menjalankan bisnis perkebunan sawit di atas kawasan HL dan HK itu harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan hutan kepada negara. Setelah itu, lahan dikembalikan kepada negara karena status hutan lindung dan konservasi.
"Hitungannya yang HLHK itu udah sekitar 200.000-an hektare di 110 B [pasal dalam UU No.1/2020] dan itulah berpeluang kembali lagi kepada negara. Jadi mohon izin, mohon maaf sawit tidak boleh di area perlindungan dan konsevasi," ujar Bambang saat ditemui di Kantor Ombudsman, Selasa (31/10/2023).
Bambang menjelaskan, aturan pengembalian lahan sawit dalam kawasan HLHK sudah menjadi keputusan Mahkamah Agung. Pemerintah melarang keberlanjutan bisnis kelapa sawit di atas HLHK, meskipun sanksi denda administratif telah dilakukan.
Bambang mengklaim, pengembalian lahan sawit di kawasan HLHK kepada negara untuk dipulihkan kembali menjadi HLHK sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengendalikan dampak perubahan iklim.
Baca Juga
"Nah sawitnya yang sudah tua-tua itu nanti digantikan dengan fungsi perlindungan dan konservasi ditanami jenis pohon kembali sehingga di mana tempatnya sawit itu di tempat yang benar, di area penggunaan lain [APL]," katanya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan untuk kebun sawit tidak berizin atau ilegal yang berada dalam kawasan hutan produksi berpeluang untuk mengurus izinnya dan meneruskan usahanya selama 1 kali daur siklus bisnis kelapa sawit, atau sekitar 25 tahun. Adapun pelaku usaha tetap diwajibkan membayar denda kepada negara.
"Satu daur selesai, yang penting legalitasnya mereka dapatkan, tidak lagi [sanksi] pidana tapi administrasi [denda]," imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah mengejar tenggat waktu penyelesaian izin kebun sawit dalam kawasan hutan hingga 2 November 2023. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang No.11/20 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Adapun penyelesaian sawit dalam kawasan hutan terbagi dalam dua tipologi yang diatur dalam pasal 110 A dan Pasal 110 B dengan target luasan mencapai 3,37 juta hektare.
Pasal 110 A mengatur kebun kelapa sawit yang telah beroperasi dan mempunyai izinnusaha perkebunan (IUP) dan sesuai tatar ruang pada izin diterbitkan, namun statusnya berada dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi.
Adapun, pasal 110 B mengatur penyelesaian kebun kelapa sawit yang telah beroperasi dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan alias ilegal.