Bisnis.com, JAKARTA –– Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan diramal sedikit di bawah 5%. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan target Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mematok pertumbuhan ekonomi 5,2%.
Ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024 di bawah target Presiden Joko Widodo itu disampaikan oleh Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Ekonom senior itu menyebut perlambatan pada 2024 akibat dari ketidakpastian global yang sangat tinggi.
“2023 saya ga khawatir [pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dapat terealisasi], bahwa 2024 itu mungkin kita sulit untuk mengharapkan ekspansi dari GDP growth,” katanya di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Dalam forum resmi ini, Chatib juga menyebut bahwa kalau ekonomi bisa tumbuh di 5% saja sudah sangat baik. “Kita harus accept bahwa pertumbuhan ekonomi kalau bisa tumbuh di 5% saja sudah sangat baik, kita harus apresiasi. Mungkin pertumbuhannya sedikit di bawah 5%,” jelasnya.
Dia menilai, seiring volatilitas global yang masih sangat tinggi, para pembuat kebijakan perlu memfokuskan regukasi yang diterbitkan untuk mendorong stabilitas.
“Tidak ada yang salah dengan ini [pertumbuhan di bawah 5%] karena kita harus kasih sinyal mengenai stability over growth,” tuturnya.
Baca Juga
Pada kesempatan yang sama, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Firman Mochtar menyampaikan bahwa terdapat sejumlah risiko global semakin meningkat dan perlu dicermati ke depan.
Pertama, perekonomian global diperkirakan melambat yang diikuti dengan divergensi yang melebar. Ekonomi Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya diperkirakan melambat, dalam perkembangannya justru cukup kuat yang didorong oleh permintaan domestik.
Di sisi lain, ekonomi China yang sebelumnya diharapkan membaik, dalam perkembangannya saat ini mengalami perlambatan.
Kedua, eskalasi geopolitik yang meningkat, terakhir Israel dan Hamas, telah mendongkrak harga energi dan pangan, sehingga memicu inflasi global tetap tinggi.
Ketiga, stance kebijakan moneter the Fed yang diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga ke depan, dan akan tetap tinggi hingga semester pertama 2024.
Keempat, situasi defisit fiskal AS yang membengkak membutuhkan bond yang lebih banyak sehingga meningkatkan tingkat imbal hasil US Treasury. Kondisi ini akan menyebabkan interest rate differential yang melebar.
Kelima, Firman mengatakan bahwa berbagai faktor tersebut pada gilirannya memicu risk appetite dari investor yang mengalihkan dananya, semakin meningkatkan eskalasinya, bukan hanya ke safe haven asset, tetapi juga memicu fenomena cash is the king.
“Gambaran ini mengakibatkan kurs dolar AS menguat secara global. Jadi pelemahan yang terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh negara, sebagian besar negara emerging markets kursnya mengalami depresiasi yang cukup besar,” katanya.
Dia menambahkan, BI berupaya melakukan langkah-langkah preemptive agar volatilitas di dalam negeri jangan sampai terus berlanjut, termasuk menjaga yield differential yang melebar.
“Ini yang ingin kita mitigasi sehingga bisa mendorong dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, 2023 [diperkirakan tumbuh] sekitar 5% dan 2024 kita harapkan tetap solid didukung konsumsi domestik,” jelas Firman.