Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) menjadi salah satu amunisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 2024 juga pemerataan pembangunan. Kebijakan itu di antaranya mencakup Dana Desa dan Otonomi Khusus atau Otsus.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman menjelaskan TKD merupakan salah satu wujud reformasi desentralisasi fiskal, yang menjadi amanat Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Desentralisasi fiskal itu, menurutnya, dapat mendukung perbaikan layanan publik, pemerataan pembangunan, dan percepatan transformasi ekonomi, sehingga kesejahteraan yang adil dan merata dapat dirasakan oleh masyarakat di seluruh Indonesia.
"Kita ingin memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah, tujuannya untuk melakukan desentralisasi ekonomi dan membangun pusat-pusat ekonomi di daerah masing-masing sehingga tercipta lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan," ujar Luky pada Senin (16/10/2023).
Luky juga menjabarkan bahwa arah kebijakan desentralisasi fiskal 2024 menjadi berbeda karena adanya implementasi tiga undang-undang, yakni UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), UU HKPD, dan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Berikut gambaran kebijakan TKD sebagai bentuk desentralisasi fiskal pada 2024:
Dana Desa
Pemerintah mengalokasikan Dana Desa senilai Rp71 triliun pada 2024, lebih tinggi dari tahun 2023 yang sebesar Rp.70 triliun. Pengalokasian Dana Desa ke desa antara lain mempertimbangkan kinerja desa, sehingga desa akan terpacu untuk berkinerja lebih baik dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Lalu, Dana Desa juga dirancang untuk diprioritaskan dalam pemberdayakan masyarakat, serta mendukung pembangunan keberlanjutan..
Pemerintah akan mendorong penggunaan Dana Desa untuk dukunganterhadap penanganan kemiskinan ekstrem maksimal 25% melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa. Terdapat pula dukungan program ketahanan pangan dan hewani minimal 20%, program pencegahan dan penurunan stunting, serta dukungan sektor prioritas di desa melalui permodalan BUMDes.
"Tahun ini kita punya terobosan baru yaitu memberikan alokasi tambahan bagi desa yang berkinerja baik. Alokasi tambahan tersebut sekaligus juga sebagai insentif bagi desa. Jika selama ini insentif fiskal
hanya diberikan kepada daerah, mulai tahun 2023 ini diberikan juga kepada desa. Insentif ini juga akan diberikan nanti di tahun anggaran 2024. Ada 3 katagori yang kami nilai yaitu kinerja keuangan dan pembangunan desa, kinerja tata kelola dan akuntabilitas keuangan desa dan katagori
penghargaan-penghargaan yang diterima desa dari kementerian lembaga.," ujar Luky.
“insentif ini akan diberikan dengan sangat selektif. Sebagai gambaran dari 74.954 desa, yang mendapatkan alokasi tambahan hanya 14.991 desa atau sekitar 20 persen” tambah Luky
Selain memberikan reward, Kementerian Keuangan juga akan menerapkan sanksi berupa penghentian penyaluran Dana Desa terhadap desa bermasalah atau jika terdapat penyalah-gunaan dana desa.
Dana Otsus & Dana Tambahan Infrastruktur
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan dalam rangka mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah lain, Pemerintah memberikan dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) kepada daerah-daerah di Papua. Besaran dana otsus adalah 2,25% dari total Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan demikian, jika dAU naik, dan otsus akan naik pula. Dalam APBN 2024 Dana Otsus untuk Papua dialokasikan sebesar Rp9,62 triliun (meningkat dari tahun 2023 yakni masing-masing Rp8,91 triliun) dan DTI sebesar Rp.4,37 triliun.
Pemerintah menetapkan Dana Otsus yang berbeda di setiap provinsi, antara lain berdasarkan, jumlah penduduk, jumlah OAP, luas wilayah, Indek kemahalan konstruksi, dan kinerja pengelolaan dana otsus.
Pemerintah mengarahkan dana otsus untuk mendukung percepatan pembangunan sesuai dengan rencana induk, antara lain penurunan kemiskinan, peningkatan investasi dan kegiatan strategis seperti beasiswa, jaminan kesehatan, serta bantuan langsung untuk peningkatan produktivitas masyarakat.
Sementara itu, DTI akan diarahkan untuk pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah guna menunjang aktivitas masyarakat, sehingga akan berdampak positif terhadap perekonomian.
Pasca UU 2/2021, terus melakukan reformasi tata kelola guna mewujudkan pengelolaan Dana Otsus dan DTI yang akuntabel, efektif, serta efisien untuk mendorong percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Insentif Fiskal
Luky juga menjelaskan bahwa pemerintah pusat menyiapkan anggaran senilai Rp8 triliun sebagai insentif fiskal bagi daerah. Tujuannya, menjadi penghargaan bagi daerah yang mempunyai kinerja terbaik dalam tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, pelayanan umum pemerintahan.
Adanya insentif itu diharapkan dapat memacu daerah untuk saling berkompetisi dalam meningkatkan kualitas pengelolaan keuangannya dan kesehatan fiskal APBD, pelayanan dasar publik di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur..
"Satu terobosan dalam UU HKPD, instrumen TKD kita kaitkan ke kinerja daerah, kita ingin beri insentif berupa tambahan dana yang lebih besar bagi daerah yang berkinerja baik," ujar Luky.
Insentif Fiskal akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, senilai Rp 4 triliun atas penilaian kinerja tahun sebelumnya, yang mencakup daerah berkinerja baik, meliputi pengelolaan keuangan pemerintah, pelayanan dasar, dukungan fokus kebijakan nasional dan sinergi kebijakan pemerintah. Poin berikutnya adalah daerah tertinggal yang berkinerja baik.
Kedua, senilai Rp 4 triliun untuk kinerja tahun berjalan. Rinciannya, dialokasikan dengan menggunakan kriteria dan kategori tertentu untuk mendukung prioritas pemerintah, yang nanti akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Reformasi Desentralisasi Fiskal
Luky menjelaskan bahwa UU HKPD diharapkan dapat memperkuat desentralisasi fiskal melalui beberapa aspek, antara lain.
Pertama, TKD berbasis kinerja seperti penggunaan DBH Sawit yang diarahkan untuk penanganan eksternalitas negatif dan memperhatikan kebutuhan daerah (PMK 91 Tahun 2023), serta pengalokasian DAU yang tidak hanya untuk memeratakan kemampuan keuangan tetapi juga memeratakan dan meningkatkan kualitas layanan publik di daerah.
Kedua, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), antara lain adanya perubahan kebijakan PDRD diarahkan mendukung peningkatan pendapatan daerah tetapi tetap tidak membebani masyarakat dan dunia usaha, sehingga akses masyarakat atas layanan dasar wajib dan kemudahan berusaha tetap terjaga. Selain ini, memperkenalkan skema Opsen PKB dan BBNKB untuk memberikan kepastian penerimaan kepada pemerintah kabupaten/kota, dengan tidak menambah beban Wajib Pajak.
Ketiga, peningkatan kualitas belanja daerah, antara lain simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas daerah, penyusunan belanja daerah yang didasarkan atas standar harga, serta pengaturan batas belanja pegawai sebesar maksimal 30% dan belanja infrastruktur layanan publik minimal 40%.
Keempat, pembiayaan melalui utang daerah antara lain untuk mendorong akselerasi penyediaan infrastruktur, penyederhanaan mekanisme pembiayaan, seperti mengintegrasikan persetujuan DPRD dengan pembahasan APBD, dengan tetap menjaga prudentiality serta mendorong bentuk pembiayaan lain yang berbasis sinergi pendanaan dan kerjasama dengan pihak swasta, BUMN, BUMD, ataupun bersama Pemda yang lain.
Kelima, sinergi fiskal untuk kesinambungan fiskal antara lain penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, kebijakan penetapan batas kumulatif defisit, dan pembiayaan utang daerah, serta sinergi bagan akun standar.
Selain itu, terdapat dukungan sistem informasi yang dapat mengkonsolidasikan informasi keuangan pemerintahan secara nasional sesuai bagan akun standar yang tersinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.