Bisnis.com, JAKARTA -Permasalahan vokasi di Indonesia ditandai dengan adanya kesenjangan kualitas lulusan vokasi dengan kebutuhan industri yang berkontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran dan kesulitan industri mendapatkan tenaga kerja.
Kesenjangan ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya pada tingkat mikro, belum tersedianya standar kompetensi yang dapat dijadikan acuan untuk proses pembelajaran; kegiatan pembelajaran dan pelatihan tidak sesuai dengan kompetensi yang disyaratkan. Sementara itu, pada tingkat makro, yang paling menonjol adalah kurangnya komunikasi dan koordinasi para pemangku kepentingan.
Ke depan, kita masih dihadapkan pada tantangan bonus demografi. Menurut proyeksi penduduk 2010—2035, pertumbuhan penduduk usia produktif (15—64 tahun) akan lebih besar sehingga rasio antara penduduk usia produktif dan non-produktif makin tinggi.
Peningkatan jumlah penduduk usia produktif berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah angkatan kerja. Tantangannya adalah bagaimana penduduk usia produktif ini dapat menjadi angkatan kerja yang produktif pula. Tanpa terobosan untuk percepatan peningkatan kualitas angkatan kerja usia produktif, dikhawatirkan berkah bonus demografi malah sebaliknya, akan menjadi musibah bonus demografi.
Untuk merespons permasalahan tersebut, Perpres No. 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi terbit. Berdasarkan potensi, ada dua sektor prioritas yang membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yaitu sektor maritim dan sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Mengacu data studi kemaritiman yang dilakukan oleh Indef dengan ILO pada 2021, dari sekitar 500.000 pekerja sektor maritim yang memiliki pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi masing-masing hanya 38% dan 9 %.
Pada subsektor pelayaran, menurut International Chamber of Shipping (ICS), China, Filipina, Indonesia, Federasi Rusia, dan Ukraina adalah lima negara pemasok terbesar untuk pelaut (perwira dan peringkat).
Baca Juga
Ada dua tantangan utama yang dihadapi Indonesia bagaimana memenuhi permintaan pelaut global. Indonesia memiliki peluang besar untuk memenuhi permintaan tersebut karena memiliki kekuatan dalam jumlah penduduk dan ketersediaan lembaga pelatihan dan pendidikan.
Namun, Indonesia masih memiliki kelemahan standar kompetensi, kurikulum, modul pelatihan dan skema sertifikasi untuk jabatan perwira terutama untuk bahasa Inggris dan pengenalan teknologi perkapalan yang mutakhir.
Pada subsektor logistik, walaupun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 2021 telah menyusun Peta Okupasi Logistik dan Rantai Pasokan yang mencakup bidang pengadaan, penyimpanan, dan pengiriman, tetapi belum semua okupasi memiliki standar kompetensi nasional (SKKNI).
Dari sisi konten, tuntutan terhadap tenaga logistik sangat berkaitan dengan kemampuan aspek soft skills berkaitan dengan tuntutan untuk bekerja cepat dan cekatan. Selain itu, menguasai teknologi digital; keterampilan bahasa asing; dan bea cukai juga diperlukan. Personel logistik di bidang kepabeanan wajib mengetahui semua peraturan yang dikeluarkan oleh kementerian terkait yang berkaitan dengan kegiatan ekspor-impor.
Pada sektor EBT, dengan penduduk lebih dari 270 juta orang, konsumsi energi listrik negara ini meningkat sangat pesat. Permintaan energi diproyeksi menjadi tiga kali lipat pada 2030.
Untuk mengurangi ketergantungan pada energi bahan bakar fosil, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target energi terbarukan yakni memperoleh 23% dari total pasokan energi primer negara pada 2025. Target EBT ini membutuhkan pasokan pekerja terampil dari berbagai tingkat keahlian dan bidang spesialisasi. Dengan demikian, jumlah profesional yang berkualitas menentukan kapasitas kelembagaan di sektor ini untuk mencapai bauran energi yang lebih hijau.
Lahirnya UU No. 30/2007 tentang Energi serta dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) melalui Perpres No. 24/2010, pemanfaatan EBT melalui energi diversifikasi merupakan arah kebijakan utama di bidang energi. Untuk meningkatkan peran pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional, juga diperlukan penyiapan pengembangan sumber daya manusia.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme SDM pelaksana pemanfaatan EBT perlu dilakukan pengembangan SKKNI untuk pengembangan kurikulum pendidikan dan modul pelatihan serta skema sertifikasi.
REVITALISASI
Adapun, rekomendasi revitalisasi yang perlu dilakukan. Pertama, revitalisasi standar kompetensi untuk mengetahui kebutuhan industri sehingga industri meningkatkan kemampuan kerja tenaga kerjanya dalam menghadapi tantangan bisnisnya. Industri harus mengidentifikasi kemampuan apa saja yang dibutuhkan oleh tenaga kerjanya.
Kedua, dana kompensasi pekerja asing. Sejak akhir 1990-an pemerintah melalui Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing untuk membayar retribusi sebesar US$100 per bulan untuk setiap tenaga kerja asing. Selama ini, dana tersebut digunakan untuk melatih tenaga kerja Indonesia agar nantinya bisa menggantikan tenaga kerja asing yang bersangkutan.
Ketiga, Program Kartu Prakerja.