Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) masih membuka peluang kenaikan suku bunga tahun ini dalam pertemuan mendatang mengingat inflasi yang masih ’membandel.’
Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan indeks harga konsumen (IHK) mencapai 0,4% pada September 2023 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/yoy) dan 3,7% secara year-on-year (yoy)
Angka inflasi ini lebih tinggi dari ekspektasi ekonom dalam survei Reuters yang memperkirakan IHK naik 0,3% mtm dan naik 3,6% yoy.
Di sisi lain, IHK inti yang tidak termasuk komponen makanan dan energi, naik 0,3% mtm dan 4,1% yoy. Para ekonom menyukai ukuran inti sebagai indikator yang lebih baik dari inflasi yang mendasarinya.
Data ini memicu ekspektasi bahwa The Fed mungkin belum selesai melakukan pengetatan moneter, sehingga meningkatkan dolar, bahkan ketika banyak pejabat menunjuk pada kenaikan imbal hasil Treasury baru-baru ini sebagai pengurangan kebutuhan untuk lebih memperketat kondisi keuangan.
Pasar kini memperhitungkan kemungkinan 40% kenaikan suku bunga pada bulan Desember, dibandingkan dengan peluang 28% sebelum laporan tersebut.
Baca Juga
"Hal ini akan membuat The Fed tetap terbuka untuk kenaikan suku bunga lagi, meskipun harus diakui bahwa pasar mungkin akan melakukan pengetatan untuk mereka," ujar Kepala Ekonom Nationwide Mutual Insurance Co. Kathy Bostjancic dikutip dari Bloomberg, Jumat (13/10/2023).
Mantan Presiden Federal Reserve Bank of St Louis James Bullard bahkan mengatakan bahwa The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga 6,5% jika inflasi mulai naik lagi.
"Risiko yang diremehkan di pasar adalah bahwa disinflasi terhenti atau berhenti sama sekali dan inflasi PCE inti mulai naik lagi. Hal ini akan memulai babak baru kekhawatiran di antara para pembuat kebijakan mengenai apakah mereka telah melakukan cukup banyak hal," katanya.
Seperti diketahui, the Fed mempertahankan suku bunga fed fund rate (FFR) di kisaran target 5,25% - 5,5% pada pertemuan kebijakan bulan September 2023, sambil tetap membuka opsi kenaikan lanjutan untuk memastikan inflasi kembali ke target 2%.
Pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) The Fed berikutnya dijadwalkan pada 1 November 2023 mendatang.
Dampak ke Ekonomi RI
Jika The Fed kembali menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 5,75%, tingkat suku bunga akan sama dengan level suku bunga acuan Bank Indonesia 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Andry Asmoro melihat risiko berlanjutnya aliran modal keluar atau capital outflow saat FFR dikerek ke level yang sama dengan suku bunga acuan BI7DRR di level 5,7%.
Meski demikian, kondisi tersebut bukan hanya diakibatkan oleh senadanya FFR dan BI-7DRR, tetapi juga sentimen pasar menunggu yang kejelasan arah suku bunga milik The Fed tersebut.
“Potensi capital outflows mungkin bisa berlanjut. Lebih karena market masih belum priced in ke arah mana suku bunga FFR ini ke depan. Jadi, bukan semata karena BI rate sama dengan FFR,” katanya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Senada, Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri juga melihat apabila suku bunga acuan FFR dan BI-7DRR berada pada tingkat yang sama, akan mendorong keluarnya aliran modal dari pasar domestik.
“The Fed mengindikasikan menaikan Fed Fund Rate [FFR] 1 kali lagi tahun ini. Artinya FFR mungkin akan par dengan BI rate. Dengan kondisi ini ada risiko outflow dari Indonesia. Ini menjelaskan mengapa rupiah melemah beberapa waktu terakhir,” ujarnya.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan sejumlah kiat agar perbankan tetap tanggung dalam menghadapi tingginya suku bunga The Fed.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan dalam menghadapi kondisi higher for longer, perbankan didorong untuk memperkuat permodalan dan pencadangan yang memadai. OJK juga secara konsisten melakukan stress test.
"Selain stress test OJK, perbankan juga didorong untuk melakukan stress test mandiri," Ujar Dian dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) bulanan OJK, Senin (9/10/2023).
Selain itu, OJK akan memperkuat mitigasi risiko secara berkelanjutan dan meningkatkan kualitas pengawasan diiringi dengan penerbitan regulasi. "Konsolidasi perbankan juga diharapkan tetap tangguh berikan kontribusi ke perekonomian," lanjutnya.