Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom mengusulkan agar pemerintah lebih bijak dalam pembayaran utang berbentuk valuta asing atau valas, di tengah melemahnya rupiah.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Andry Asmoro menyampaikan hal tersebut untuk menahan shock yang ditimbulkan dari kondisi rupiah yang terakhir berada di posisi Rp15.600an per dolar AS.
Pasalnya, tekanan yang besar ke nilai tukar rupiah perlu diintervensi dengan menjaga likuiditas valas dan rupiah di sektor domestik.
“Caranya dengan memastikan pressure demand USD manageable, misalnya debt repayment utang pemerintah dalam valas dimitigasi dengan baik dan kebutuhan impor minyak diatur supaya tidak menimbulkan shock. Dari sisi supply memastikan DHE benar-benar masuk ke domestic market,” katanya, Minggu (8/10/2023).
Adapun, menurutnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) di level 5,75 persen dipandang masih dalam posisi yang pas untuk mengatasi inflasi dan menjaga nilai tukar.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah hingga Agustus 2023 mencapai Rp7.870,35 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,84 persen.
Baca Juga
Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan dengan posisi utang pemerintah pada Juli 2023 yang mencapai Rp7.855,53 triliun atau naik Rp14,82 triliun.
Surat Berharga Negara (SBN) valas tercatat 16,91 persen dari total utang atau senilai Rp1.331 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negasa (SUN) sejumlah Rp1.027 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp303 triliun.
Secara umum, komposisi utang pemerintah pun didominasi oleh utang domestik, yaitu 72,29 persen. Hal ini sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.