Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia melalui IDXCarbon pada hari ini, Selasa (26/9/2023). Meski demikian, pemerintah tidak serta merta mengiringinya dengan penerapan pajak karbon untuk perdagangan tersebut.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan bahwa pemerintah akan tetap membuat pajak karbon walaupun peluncurannya tidak bersamaan dengan bursa karbon.
Suahasil menyampaikan bahwa tujuan utama dari penerapan pajak ini nantinya bukanlah untuk menambah penerimaan negara.
"Pajak karbon kami buat, tapi fungsinya bukan untuk cari penerimaan, tapi untuk memberikan alternatif untuk dunia usaha untuk memenuhi net zero emission. Kalau tidak mau beli karbon kredit, bayar saja pajaknya," ujarnya, dikutip Selasa (26/9/2023).
Artinya, pemerintah memberikan opsi atau pilihan kepada dunia usaha untuk dapat memilih mengurangi emisi dengan membeli pengurangan emisi di pasar karbon atau membayar pajak kepada pemerintah.
Suahasil mengatakan, pajak karbon menjadi alat terpenuhinya Nationally Determined Contribution dengan menurunkan emisi gas sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sampai dengan 43,20 persen dengan kerja sama internasional pada periode 2023.
Baca Juga
Dalam bursa karbon ini pula, Suahasil tidak ingin kehilangan momentum seperti halnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), yang mana Indonesia sebagai produsen, namun bursanya bukan di Indonesia.
"Kami ingin internasional cari karbon kredit di Indonesia. Jangan lagi terulang CPO, kita [Indonesia] produsennya, bursanya bukan di Indonesia. Karbon produsen di Indonesia, bursanya kita buat di Indoensia, beli ke Indonesia, cari di Indonesia," tambahnya.
NASIB PAJAK KARBON
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono melihat nasib pajak karbon sepenuhnya tergantung pada pembuat kebijakan (policymakers).
Prianto menyebutkan bahwa saat ini peta jalan pasar karbon sudah final sehingga kebijakan tersebut dapat diimplementasikan. Akan tetapi, kebijakan peta jalan pajak karbon masih belum tuntas.
"Bahwa ketika kebijakan final belum disepakati menandakan proses saat ini yang masih berada di ranah perdebatan para pihak yang pro dan kontra," katanya kepada Bisnis, Selasa (26/9/2023).
Sesuai dengan Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), peta jalan pajak karbon memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Maka dari itu, empat hal tersebut harus dicermati dalam penetapan peta jalan pajak karbon, untuk mencapai tujuan yang sesuai dalam UU HPP, yakni pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Prianto melihat banyak pihak harus terlibat agar kebijakan peta jalan pajak karbon dapat mengakomodasi semua kepentingan yang terlibat.
“Jangan sampai terjadi judicial review [JR] di Mahkamah Agung ketika kebijakan peta jalan pajak karbon tersebut baru diimplementasikan. Alasan pemohon JR di MA atau bahkan MK tersebut pasti berkaitan dengan aturan peta jalan pajak karbon yang dianggap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi,” tambahnya.
KAPAN PAJAK KARBON BERLAKU?
Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu melihat belum ada prioritas yang mendesak atau urgent dalam penerapan pajak karbon di sektor tertentu.
Menurutnya, perdagangan melalui bursa karbon sudah memiliki potensi besar untuk mendukung perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah akan memantau terlebih dahulu efektivitas pelaksanaan bursa karbon sembari terus mengkaji peta jalan penerapan pajak karbon.
Kendati demikian, Kemenkeu tetap menyiapkan peta jalan untuk penerapan pajak karbon ke depannya.
"Kalau pajak karbon kami siapkan roadmap-nya, sektor mana yang kita harapkan suatu saat kita terapkan itu tidak terdisrupsi, pertumbuhan ekonominya tidak terganggu, inflasi tidak naik, dan lapangan kerja tidak terganggu. Itu yang kami siapkan, jadi pasar karbon yang sekarang tidak butuh pajak karbon," jelasnya saat ditemui di JCC, Rabu (20/9/2023).
Oleh karena itu, Febrio menuturkan, belum tentu juga pajak karbon akan diterapkan dalam waktu dekat.
“Kita harus siapkan ekonomi kita tetap tumbuh sambil kita siapkan sektor mana yang siap untuk mulai dan tentu ini akan sangat hati-hati dan sangat bertahap. Belum tentu tahun depan [pajak karbon diterapkan],” ucap Febrio.
Dengan demikian, pemerintah nampaknya masih belum akan menerapkan pajak karbon dalam waktu dekat, meski bursa karbon mulai meluncur per hari ini.