"Kita mau bikin kereta cepat saja, banyak yang ngomel. Kenapa buang-buang uang? Begitu memakainya, baru mereka di situ senang," jelasnya dalam Seminar Nasional Strategi Green Financing Sektor Transportasi untuk Daya Saing Perkeretaapian Berkeadilan di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Di sisi lain, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo, menyebut APBN tidak menjadi jaminan untuk pinjaman utang atas cost overrun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Tiko menjelaskan, pemerintah menunjuk PT Kereta Api Indonesia (Persero) untuk memberikan tambahan modal ke PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Hal ini mengingat posisi KAI sebagai pemegang saham terbesar pada pihak konsorsium Indonesia di KCIC.
Selain itu, KAI juga akan mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CDB) untuk pembayaran pembengkakan biaya tersebut. Pinjaman tersebut kemudian akan dialirkan ke PT KCIC.
“Jadi jangan salah, itu ada dua step, KAI wajib memberikan tambahan pinjaman saham ke KCIC. KAI juga kemudian akan meminjam ke CDB,” jelas Tiko di Kompleks Parlemen, dikutip Kamis (21/9/2023)
Lebih lanjut, Tiko juga menyebut proses negosiasi besaran bunga pinjaman untuk biaya bengkak proyek KCJB masih berlanjut hingga saat ini. Tiko menjelaskan, saat ini pemerintah Indonesia dan China telah berhasil menegosiasikan besaran bunga pinjaman itu hingga di bawah 4 persen.
Baca Juga
Dia menyebut, besaran bunga pinjaman tersebut masih dibahas pada kisaran 3 persen per tahun.
“Terakhir negosiasi di bawah 4 persen, kisarannya di sekitar 3 persen sampai 3,5 persen,” ujarnya.
Kereta Cepat Bukan Proyek B2B
Sementara itu, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Aditya Dwi Laksana menilai proyek seperti kereta cepat akan sulit dilaksanakan secara murni dengan skema business to business (B2B) atau murni dengan dana sendiri.
Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kebutuhan dana yang cukup besar, sehingga, proyek ini akan sulit lepas sepenuhnya dari intervensi pemerintah.
Selain kebutuhan dana yang besar, proyek tersebut juga melibatkan hubungan bilateral negara, dalam hal ini China dan Indonesia. Kemudian, proyek transportasi juga akan berkaitan dengan aspek pelayanan masyarakat.
Dia melanjutkan, penjaminan melalui APBN juga cukup kontradiktif dengan pernyataan pemerintah yang sempat mengarahkan proyek kereta cepat pada skema B2B.
Namun, adanya Peraturan Presiden No. 93/2021 yang disusul oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 89/2023 pun memungkinkan adanya pembiayaan proyek kereta cepat bersumber dari APBN.
“Menurut saya dulu pernyataan pemerintah soal proyek ini murni business to business di 2016 itu terlalu dini. Proyek sebesar ini sudah pasti tidak bisa dilepas dari intervensi pemerintah, apalagi ini statusnya PSN,” kata Aditya.