Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak pemerintah untuk segera membuat dan merealisasikan aturan untuk social commerce guna menjaga produktivitas pelaku usaha dalam negeri.
Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey menyampaikan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus mengambil langkah cepat sebelum social commerce menggerus produk-produk lokal.
“Jadi social commerce harus dibuat aturannya, juknis harus dibuat, jangan sampai sudah terpapar baru dibuat,” kata Roy saat ditemui di Jakarta Selatan, dikutip Kamis (21/9/2023).
Sebagai informasi, aturan terkait dengan social commerce akan diimplementasikan melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Adapun revisi aturan ini sedang dalam tahap harmonisasi sehingga Aprindo berharap aturan ini segera direvisi dan direalisasikan dengan melibatkan pelaku usaha dalam prosesnya.
Di sisi lain, Aprindo menyebut bahwa kehadiran social commerce di Indonesia merupakan peringatan bagi pemerintah untuk harus relevan dan adaptif dalam membuat regulasi lantaran dunia selalu berubah.
Baca Juga
“Bukan dalam waktu 5 tahun sekali baru dibuat Permendagnya atau di revisi dan lain-lain, tapi harus relevan dan adaptif tiap minggu, tiap bulan. Ini keniscayaan, nggak pernah di dalam kepala kita ada social commerce. Tau-tau dalam satu kuartal ini social commerce bertumbuh,” ujarnya.
Menurutnya, arus perdagangan elektronik di Tanah Air perlu diatur dengan ketat. Misalnya, cara-cara yang tidak melalui jalur fiskal dan tidak memenuhi aturan yang berlaku harus dilarang.
Dia juga mengusulkan agar dalam revisi Permendag No.50/2020 juga diatur soal predatory price. Sebab saat ini, kata dia, barang-barang yang dijual di TikTok Shop disubsidi oleh platform tersebut sehingga harga barang yang dijual sangat murah.
“Affiliate barang dari luar itu disubsidi oleh TikTok-nya, sehingga disini minyak wangi harganya bisa Rp1.000, jam tangan Rp5.000 karena disubsidi dari platformnya. Nah itu yang dinamakan predatory price,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, perlu diatur pula soal perlindungan konsumen yang setara dengan barang-barang yang ada di ritel konvensional.
“Jadi kita sangat mendesak dan berharap ini segera direalisasikan,” tegasnya.