Bisnis.com, JAKARTA - Adanya larangan penjualan produk impor dibawah US$100 atau sekitar Rp1,5 juta di platform online e-commerce maupun social commerce dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.50/2020 dikhawatirkan dapat mengganggu suplai dan permintaan .
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan jika pembatasan tersebut mengganggu suplai dan demand, maka ini akan berdampak terhadap konsumen.
“Kalau sampai mengganggu suplai dan demand, nantinya kan yang kena impact customer,” kata Bima kepada awak media, Jumat (8/9/2023).
Aturan larangan penjualan produk impor dibawah US$100 sebelumnya sempat diprotes oleh Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (Aple).
Ketua Aple Sonny Harsono saat itu menyampaikan, kebijakan tersebut akan memberikan efek ganda.
“Di samping tak memiliki yurisprudensi di dunia internasional, kebijakan tersebut rentan lebih membuka ruang importasi ilegal yang negara pengirim maupun kualitas produk tak tervalidasi,” katanya.
Baca Juga
Alih-alih melindungi UMKM, Sony melihat aturan ini justru akan merugikan UMKM. Ekses masalah yang timbul juga diyakini jauh lebih besar, termasuk importasi ilegal yang membuat negara rugi serta meningkatnya perilaku koruptif.
Di sisi lain, kebijakan tersebut juga dinilai dapat membuat sektor UMKM menjadi lumpuh. Pasalnya, banyak barang produksi atau kebutuhan yang diperlukan tak dapat diperoleh karena belum tersedia di Indonesia.
Kekhawatiran lain adalah larangan impor di bawah US$100 berpotensi membuat UMKM Indonesia menerima efek resiprokal atau perlakuan serupa dari negara lain.
Keberatan ini sudah disampaikan Aple secara tertulis ke pemerintah. Jika pemerintah tetap kekeh menerapkan aturan ini, maka asosiasi mengancam untuk menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kita akan eskalasi, tapi kalau semua cara mentok, kita akan ambil langkah hukum, kita akan gugat kebijakan ini ke PTUN,” pungkasnya.