Bisnis.com, JAKARTA – The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mempertahankan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7 persen pada 2023.
Menurut OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menguat menjadi sebesar 5,1 persen pada 2024.
“Pertumbuhan PDB riil Indonesia akan stabil pada 2023 sebesar 4,7 persen dan pertumbuhan diproyeksikan meningkat menjadi 5,1 persen pada 2024,” tulis OECD dalam Publikasi terbarunya mengenai Update Economic Outlook for Southeast Asia, China, and India 2023, dikutip Senin (4/9/2023).
Director of OECD Development Centre Ragnheiður Elín Árnadóttir menyampaikan bahwa negara-negara di Asia akan menghadapi tantangan, terutama dari sisi global yang terus berlanjut pada 2023.
Di satu sisi, kinerja ekspor diperkirakan mengalami kontraksi yang disebabkan oleh penurunan permintaan eksternal yang berkepanjangan.
Di sisi lain, konsumsi swasta yang kuat dan sektor jasa yang berkembang akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
“Permintaan domestik, terutama konsumsi swasta yang kuat, akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di kawasan ini,” katanya.
Untuk Indonesia, OECD menilai kegiatan menjelang Pemilu pada kuartal pertama 2024 dan pemilihan kepala daerah pada kuartal IV/2024 akan berkontribusi terhadap pengeluaran.
Adapun, pada 2022, ekonomi Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,3 persen, didukung oleh pemulihan konsumsi swasta dan kinerja ekspor yang kuat yang diuntungkan oleh harga komoditas yang tinggi.
Momentum pertumbuhan tersebut berlanjut hingga 2023, dengan pertumbuhan 5,2 persen pada kuartal kedua, menandai tujuh kuartal berturut-turut pertumbuhan tahun ke tahun di atas 5 persen.
Ekspansi ekonomi di dalam negeri terutama didorong oleh belanja rumah tangga, investasi, dan belanja pemerintah, yang dinilai mengimbangi perlambatan di sisi ekspor.
Laju inflasi domestik juga tercatat menurun menjadi 3,1 persen secara tahunan pada Juli 2023, berada dalam kisaran target bank sentral selama tiga bulan berturut-turut.
Di sisi fiskal, windfall komoditas dan paket reformasi perpajakan dinilai telah berkontribusi pada kembalinya defisit APBN ke 2,4 persen dari PDB pada 2022, sehingga mencapai tujuan konsolidasi fiskal yang lebih cepat dari target.
OECD memperkirakan, defisit fiskal akan tetap berada di bawah target yang telah ditetapkan pemerintah pada 2023 seiring dengan berlanjutnya kebijakan perpajakan dan berkurangnya kebutuhan belanja terkait pandemi secara bertahap, menyusul keputusan pemerintah untuk mengakhiri status darurat nasional pandemi Covid-19.