Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama dan CEO PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) Anindya Bakrie optimistis dan meyakini bahwa kawasan Asia Tenggara atau Asean merupakan ceruk pasar besar bagi industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Mengetahui terdapat ratusan juta penduduk di kawasan Asean, tentunya mereka akan memilirkan mengenai net-zero di masing-masing Negara sehingga memang ini adalah pangsa yang besar,” ujarnya saat ditemui Bisnis di Grand Ballroom, The Ritz-Carlton Hotel, Pacific Place, Sabtu (2/9/2023).
Berdasarkan laporan International Monetary Fund (IMF), pada 2023, total jumlah penduduk di kawasan Asia Tenggara diperkirakan mencapai 679,69 juta jiwa.
Angka tersebut menempatkan negara-negara Asean menyumbang 8,09 persen dari total penduduk dunia yang mencapai 8,4 miliar jiwa.
Tak hanya itu, keunggulan lain Asean adalah total dari masing-masing luas negara di kawasan Asean, mencapai 5.060.100 km persegi untuk wilayah perairan. Sementara luas total daratan di kawasan Asean kurang lebih mencapai 4.817.000 km persegi.
Indonesia menjadi negara Aean terluas dengan luas mencapai 1,905 juta km persegi dengan jumlah penduduk menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai sebanyak 278,69 juta jiwa pada pertengahan 2023. Angka tersebut naik 1,05 persen dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Baca Juga
Oleh sebab itu, Anindya mengamini bahwa strategi yang dilakukan perusahaannya adalah berfokus terhadap kebutuhan transportasi publik, mengingat ceruk pasar yang dibutuhkan dari total jiwa dan luas daratan yang perlu dihubungkan dengan kendaraan massal.
Transportasi massal seperti bus, kata Anindya, merupakan cara yang paling baik untuk mengelola permintaan pasar kendaraan listrik, karena apabila masyarakat sudah menaruh minat terhadap bus elektrik maka tak menutup kemungkinan permintaan terhadap mobil dan mobil listrik bisa terkerek.
Dia pun menyebut saat ini sudah ada 52 bus listrik yang melintang di Transjakarta yang hingga hari ini sudah membawa 15 juta orang dengan 3 juta kilometer (km) dan menghemat emisi setengah juta ton atau seperapat juta pohon yang ditanam setiap tahunnya.
“Jadi kalau kita fokus ke transportasi publik itu tak kalah. Kami percaya moda umum itu awal yang baik dalam beralih ke energi baru terbarukan. Apalagi komitmen pemerintah sudah besar. Pemerintah sudah serius terlihat dengan memberikan insentif ke end user selalu menggalakkan hilirisasi industri,” tuturnya
Dia tak menampik sebagai pengusaha insentif akan selalu diperlukan untuk memperlancar roda bisnis perusahaan, tetapi menurutnya hingga saat ini Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah lebih dari cukup untuk mendorong Indonesia beralih ke kendaraan listrik.
“Saya rasa sudah cukup insentif untuk memulai peralihan ini. Ke depan, peta persaingan harus makin didorong sehingga banyak pemain yang membuat ekosistem [kendaraan listrik] makin sehat dan makin terbentuk,” pungkas Anindya.
Sekadar informasi, AC Ventures (ACV) bersama Asosiasi Ekosistem Mobilitas Listrik (AEML) merilis laporan terkait kendaraan listrik yang sedang berkembang di Indonesia.
Dalam laporan berjudul Indonesia's Electric Vehicle Outlook: Supercharging Tommorow's Mobility, potensi pasar kendaraan listrik di Indonesia disebut bisa mencapai lebih dari US$20 miliar atau sekitar Rp299 triliun.
Perinciannya, pabrik baterai sel kendaraan listrik termasuk battery management system (BMS) US$3 miliar hingga US4,5 miliar, kemudian penelitian dan pengembangan memiliki nilai US$12,5 miliar sampai US$15 miliar.
Selanjutnya, penjualan kendaraan listrik dan dealership bernilai US$1 miliar - US$2 miliar dollar, infrastruktur pengisian EV atau SPKLU US$2 miliar hingga US$3 miliar dan terakhir perawatan EV dan daur ulang baterai mencapai US$500 juta hingga US$1,5 miliar.
Adapun, Indonesia telah menetapkan tujuan ambisius dalam pengembangan energi terbarukan, dengan rencana meningkatkan proporsi energi terbarukan hingga 23 persen dari total komposisi energi negara pada tahun 2025.