Bisnis.com, JAKARTA - Tak pelak, hal ini menimbulkan ancaman bagi keselamatan jiwa masyarakat.
Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Agus Dwi Susanto pada 11 Februari 2023 mengingatkan bahwa polusi udara yang kian parah saat ini bisa memicu berbagai penyakit paru, seperti infeksi saluran pernapasan atas, tuberculosis, asma, dan penyakit paru obstruksi kronis.
Alhasil, ini juga membebani perekonomian kita dari segi pengeluaran anggaran kesehatan. Lihat saja, data BPJS Kesehatan menunjukkan selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi mencapai angka signifikan dan memiliki kecenderungan peningkatan tiap tahunnya.
Pemerintah jelas tidak tinggal diam. Sejumlah solusi jangka pendek maupun jangka panjang pun dipersiapkan. Solusi jangka pendek antara lain berupa pemberlakuan kembali kebijakan bekerja dari rumah alias work from home bagi para Aparatur Sipil Negara demi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang ditengarai menjadi salah satu sebab utama perburukan polusi.
Beberapa solusi jangka panjang juga diterapkan. Dua di antaranya yang menjadi fokus tulisan ini adalah pemberlakuan pajak karbon bagi industri yang menghasilkan emisi karbon tinggi—satu sebab utama lain dari polusi—dan pemberian insentif bagi kendaraan listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil.
Masalahnya, dua solusi jangka panjang itu berpotensi tidak efektif dan justru akan memperparah situasi di kemudian hari.
Baca Juga
Mengapa demikian? Pertama, pemberlakuan pajak karbon seakan mengirimkan sinyal kebijakan permisif terhadap kegiatan industri pengepul karbon yang tidak ramah lingkungan. Kebijakan ini seolah-olah ingin mengatakan, “silakan Anda memproduksi karbon sebanyak-banyaknya asalkan Anda mampu membayar pajak guna mendanai pemulihan lingkungan akibat kerusakan yang Anda timbulkan.”
Jika logika ini digunakan, jelas perusahaan yang memproduksi karbon berpotensi tidak akan mengerem aktivitas produksi mereka sepanjang hitung-hitungan bisnis mereka masih menunjukkan pajak yang dibayar tetap lebih kecil dibandingkan laba yang akan mereka dapatkan.
Kedua, insentif bagi kendaraan listrik juga kemungkinan besar akan kontraproduktif. Pasalnya, pakar energi Rudi Rubiandini (Antaranews, 8/7/2021) sudah jauh-jauh hari mengingatkan walaupun mobil listrik memang mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, harus diingat pula bahwa sumber setrum yang digunakan untuk mobil listrik masih berasal dari energi fosil berupa minyak, gas dan batu bara yang saat ini masih banyak dipakai oleh pembangkit listrik di Indonesia.
Kontraproduktivitas juga bisa terjadi pada insentif yang diberikan pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT) lain di luar listrik. Merujuk Donny Yusgiantoro dalam Kebijakan Energi Lingkungan (LP3ES, 2017), pemanfaatan sejumlah EBT juga mengandung sejumlah masalah serius. Misalnya, kegiatan geotermal berpotensi mengubah kontur permukaan tanah dan dapat menyebabkan terjadinya longsor.
Kemudian, proses konversi energi biomassa menjadi bahan bakar, baik melalui proses pembakaran maupun biokimiawi bisa berdampak pada keanekaragaman hayati, air, udara, dan tanah serta memicu deforestasi.
Solusi Alternatif
Lantas, solusi jangka panjang apa yang mesti kita tempuh untuk mengatasi masalah genting polusi udara saat ini? Pertama, pemerintah tidak perlu memberlakukan kebijakan ekonomi kalkulatif pajak karbon, melainkan hanya perlu menerapkan penegakan hukum tegas secara konsisten dan tanpa diskriminasi terhadap para oknum pelaku industri yang melakukan kegiatan produksi dengan standar lingkungan yang melanggar hukum.
Kedua, alih-alih memberikan insentif yang bisa salah sasaran kepada EBT yang tidak tepat, pemerintah dapat mencari dan mengembangkan sumber EBT yang lebih efisien. Salah satu contoh sumber itu adalah tenaga nuklir. Hanya saja, hambatan psikologis masyarakat berupa ketakutan akan radiasi nuklir perlu diatasi dengan edukasi dan penggunaan teknologi yang tepat. Semoga!