Bisnis.com, JAKARTA - Dorongan terhadap penggunaan transportasi ramah lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam rangka meningkatkan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek).
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menjelaskan, kendati masih ada perdebatan mengenai penyebab utama polusi udara di Ibu Kota, aksi pembenahan terhadap sektor transportasi tetap memiliki urgensi paling tinggi.
"Kendaraan dengan teknologi rendah emisi, baik berbasis baterai maupun hybrid, merupakan keniscayaan zaman. Apalagi, Indonesia punya bekal cadangan nikel melimpah. Lebih baik potensi ini dimanfaatkan maksimal dengan cara mulai mendorong transportasi ramah lingkungan sejak sekarang," jelasnya kepada Bisnis, dikutip Kamis (31/8/2023).
Adapun, baru-baru ini, ramai di kalangan warganet soal perbedaan pendapat dari beberapa kalangan dan tokoh negara berkaitan penyebab utama polusi udara di kawasan Jabodetabek.
Sebagian menuding pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Banten dan Jawa Barat sebagai biang keladi, salah satunya seperti diungkap laporan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA).
Adapun, sebagian lainnya, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI justru menyebut kendaraan bermotor merupakan penyebab utama polusi dari emisi CO, sementara sektor industri merupakan penyumbang utama emisi SO2.
Namun demikian, bagi Ahmad atau yang akrab disapa Puput, upaya-upaya untuk terus mendorong kendaraan hybrid maupun kendaraan listrik berbasis baterai sama sekali tak ada ruginya buat negara maupun masyarakat. Bahkan, hal itu bisa menjadi penjaga kesadaran semua pihak akan gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
"Karena sekali pun pembangkit listrik di sini masih banyak menggunakan batu bara, tetap saja hitung-hitungan emisi per kilometer yang dihasilkan kendaraan listrik dan hybrid lebih rendah ketimbang kendaraan ICE [mesin bakar konvensional]," tambahnya.
Puput menjelaskan, kendaraan listrik berbasis baterai sekali pun, memang masih menghasilkan jejak karbon atau emisi apabila setiap hari diisi ulang dengan listrik yang mayoritas berasal dari pembangkit bertenaga batu bara. Namun, emisinya tetap bisa lebih rendah sekitar 28 persen per km ketimbang kendaraan internal combustion engine (ICE) biasa.
Sementara itu, apabila mayoritas pembangkit listrik telah memanfaatkan energi gas alam, jejak karbon kendaraan listrik pun bisa ditekan lebih rendah sekitar 48 persen per km ketimbang kendaraan ICE. Ke depannya, menurut Puput, alangkah lebih bagus lagi apabila mayoritas pembangkit listrik telah menggunakan sumber energi terbarukan, seperti air, bayu, atau panas bumi. Alhasil, emisi kendaraan listrik bisa turun drastis nyaris 100 persen.
Oleh sebab itu, Puput mendorong adanya standar emisi maksimal suatu mobil dan motor ICE, kemudian pemerintah harus memberikan disinsentif untuk setiap produk yang punya emisi lebih besar dari standar. Besaran disinsentif dihitung dari seberapa besar selisihnya dari standar yang ada.
"Beberapa insentif terkait kendaraan listrik dari pemerintah sebenarnya sudah bagus. Tapi ini tidak disertai dengan disinsentif buat kendaraan ICE secara lebih signifikan. Ini bukan diskriminasi, justru lebih demokratis dan terbuka terhadap berbagai teknologi. Pabrikan otomotif tinggal memilih mau pakai pendekatan seperti apa buat produk-produknya," jelasnya.
Adapun, terkait peralihan sumber energi listrik menjadi lebih hijau, terutama menyuntik mati PLTU yang masih menggunakan batu bara, Puput mendorong negara berkomitmen menjalankannya sesuai dengan rancangan peta jalan secara bertahap. Namun, tetap tepat waktu.
Saat ini, landasan transisi energi pembangkit listrik tertuang dalam Peraturan Presiden No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Pemerintah pun telah merancang platform Energy Transition Mechanism (ETM) pada pertemuan G20 beberapa waktu lalu.
Saat ini, pemerintah berhasil meraih pendanaan dari dana investasi iklim sebesar US$500 juta atau setara dengan Rp7,6 triliun dan masih bisa meningkatkannya hingga US$4 miliar. Mayoritas akan digunakan untuk mempercepat upaya-upaya pensiun dini beberapa PLTU batu bara.
Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, telah muncul dua nama calon PLTU batu bara untuk disuntik mati, yaitu PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu, dengan total aset keduanya mencapai Rp25 triliun. Saat ini, rencana pensiun dua PLTU tersebut tengah dalam proses due diligence oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan Indonesia Investment Authority (INA).
Serupa, Ahli Emisi Udara dari Universitas Sultan Agung Tirtayasa Anton Irawan menjelaskan bahwa jangan sampai PLTU batu bara menjadi kambing hitam atas isu polusi udara. Alasannya, saat ini efektivitas penyaringan emisi fly ash dengan teknologi electrostatic precipitator/ESP telah mencapai 99,5 persen. Hasil dari penyaringan pun memberikan nilai tambah karena menjadi bahan baku semen. Terlebih, sudah banyak PLTU yang memperoleh penghargaan patuh terhadap aturan yang ditentukan oleh KLHK.
Pemerintah tinggal memantau setiap PLTU menghasilkan emisi udara ambien tetap di bawah baku mutu emisi sesuai PP No. 22/2021 pada lampiran VII.
"Saat ini, pembangkitan listrik berbasis batu bara jangan terlalu dijadikan kambing hitam. Apalagi musuh. Semua sudah memenuhi standar yang ditetapkan dunia," jelasnya.
Lagi pula, Anton menilai kajian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa tidak ada emisi PLTU batu bara yang mengarah ke Jakarta untuk bulan Juli-Agustus.
"Pada Juli-Agustus tahun ini, angin sedang mengarah ke Samudra Hindia. Jadi sangat tidak mungkin mengarah ke Jakarta dengan jarak yang lebih dari 100 km," tambah Anton.
Selain itu, menurut Anton, pemodelan kualitas udara dengan Calpuff yang digunakan oleh beberapa pihak untuk mempersalahkan PLTU batu bara sebenarnya hanya efektif mengukur jarak dekat, tidak lebih dari radius 100 kilometer.
"Saya perkirakan hasilnya [beberapa riset] kurang valid. Dia mengukur sampai Bandung. Jarak PLTU yang diukur sampai Bandung itu hampir 250 kilometer," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Anton, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut terkait apa saja sumber emisi utama yang menyebabkan kualitas udara di Ibu Kota semakin menurun.