Bisnis.com, JAKARTA - Baru-baru ini Presiden Joko Widododo menegaskan pemerintah akan menyediakan subsidi tarif atau public service obligation (PSO) untuk LRT Jabodebek. Lantas, berapa sebenarnya tarif ideal buat menyasar para pekerja di Ibu Kota?
Sebagai pengingat, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebelumnya telah menetapkan besaran tarif kereta listrik layang yang akan menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi ini senilai Rp5.000 untuk 1 km pertama, kemudian Rp700 untuk setiap km selanjutnya.
Secara perhitungan kasar, tarif LRT Jabodebek rute Cibubur Line (Dukuh Atas-Harjamukti) sejauh 24,3 km pun dipatok mencapai kisaran Rp21.000, sementara rute Bekasi Line (Dukuh Atas-Jati Mulya) sejauh 27,3 km akan memakan biaya Rp23.000.
Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menjelaskan bahwa apabila biaya pulang-pergi dengan LRT Jabodebek masih berkisar Rp50.000 per hari, maka terbilang menarik buat warga Greater Jakarta.
"Kalau menyasar pekerja kalangan menengah dan menengah ke atas, Rp50.000 dan belum termasuk feeder [angkutan pengumpang] pun itu masih masuk akal. Tapi kalau lebih, akan jadi kurang menarik," jelasnya ketika dihubungi, dikutip Sabtu (12/8/2023).
Pria yang juga Waketum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini menjelaskan alasannya berasal dari perbandingan biaya transportasi harian bagi kalangan menengah dan menengah ke atas yang menggunakan kendaraan pribadi.
Baca Juga
Djoko sempat membuat survei buat kalangan pekerja di segmen tersebut, di mana biaya transportasi mereka berada di kisaran Rp75.000 sampai Rp100.000. Mencakup biaya BBM, jalan tol, dan rata-rata langganan parkir kantor.
Oleh sebab itu, menurut Djoko, layanan feeder atau transportasi penghubung stasiun merupakan prioritas yang perlu dikembangkan untuk membuat LRT Jabodebek menjadi jauh lebih menarik bagi mereka.
"Kalau pilihan feeder masih terbatas, apalagi hanya ada angkot, jelas tidak relevan buat mereka, walaupun harganya murah. Perlu diingat, segmen utama pengguna LRT Jabodebek adalah pekerja yang pendapatannya termasuk menengah ke atas. Mereka sudah punya demand soal kepastian, kecepatan dan kenyamanan," tambah Djoko.
Apabila belum terlihat ada pilihan feeder yang mencukupi, maka stasiun LRT Jabodebek akan menjadi peluang bagi perusahaan transportasi swasta. Baik penyedia taksi, ojek daring, bus mini, sampai angkutan konvensional.
Terlebih, lewat keterbatasan lahan di stasiun-stasiun terluar LRT Jabodebek, kebijakan park and ride pun jadi kurang relevan. Kecuali, para pengguna merupakan warga yang berdomisili di kawasan properti dekat stasiun, alias masih dalam jangkauan kawasan TOD.
"Selain itu, kalau angkutan pengumpan LRT Jabodebek tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah, maka yang muncul justru titik-titik kemacetan baru di dekat kawasan stasiun. Artinya, perlu juga ada kebijakan lalu-lintas baru di beberapa stasiun padat," tutupnya.