Bisnis.com, JAKARTA - Lahirnya kebijakan kelautan dan perikanan kontroversial menjelang akhir pemerintahan Jokowi menimbulkan polemik berkepanjangan yaitu PP No. 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), dan PP No. 26/2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Hasil Laut (PSHL) yang mengeksploitasi pasir laut.
Keduanya dianggap model ekonomi biru (EB), padahal sejatinya ekonomi kelautan (EK). Konsep EB versi penggagasnya, Gunther Pauli (2010) tidak identik dengan EK. Praktik EB di Seychelles, Afrika Selatan, Tanzania, dan Papua Nugini justru meminggirkan dan mengorbankan nelayan skala kecil (NSK) dan masyarakat adat (Barbesgaard, 2018) sehingga dianggap perampasan biru (blue grabbing) akibat memproduksi ketidakadilan biru (blue injustice).
Indonesia ngotot mengusungnya hingga kini. Ada apa di baliknya? Apakah mengejar kucuran pembiayaan skema utang biru (blue finance dan blue bond) dari lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF dan Asian Development Bank)?
Imbas kontradiksi dan perkembangan EB melahirkan terminologi; pertama, keadilan biru (blue justice) yakni pengakuan, keterlibatan berarti, dan perlakuan adil bagi masyarakat pesisir untuk mengakses, menggunakan, mengelola dan menikmati sumber daya pesisir dan laut.
Terminologi ini memosisikan “pengakuan hak” yang melekat dalam diri setiap orang dan komunitas untuk menikmati lingkungan laut yang sehat, produktif, dan berkelanjutan.
Kedua, ketidakadilan biru (blue injustice) adalah ungkapan ketidakadilan oleh rakyat yang tertindas maupun terpinggirkan akibat kerusakan wilayah pesisir dan laut, serta pengucilan budaya dan politiknya dalam proses pembangunan kelautan.
Baca Juga
Ketiga, resistensi biru (blue resistance) yaitu tindakan kolektif berkelanjutan yang melewati ruang dan waktu yang merefleksikan ketidakadilan hingga mengupayakan agenda alternatif bagi masyarakat pesisir (Blythe et al 2023). Contohnya, rakyat pulau Sangihe menolak tambang emas, nelayan pulau Rupat (Riau) dan Kodingareng (Makassar) menolak tambang pasir laut, dan Forum Rakyat Bali menolak reklasmasi Teluk Benoa.
Agar perkembangan EB tidak menimbulkan ketidakadilan biru (KB), resistensi biru (RB) hingga perampasan biru (blue grabbing), Bennet et al (2022) merekomendasikan ‘keberlanjutan dan kesetaraan sosial’ sebagai ‘koreksi’ paradigma, kebijakan, praktik, dan model pembangun EB: (i) mengubah paradigmanya; (ii) memosisikan rakyat sebagai pelaku dan penerima manfaat pembangunan; (iii) mengutamakan keberlanjutan sosial, kesetaraan, livelihoods, dan kesejahteraan; (iv) menghitung dampak sosial ekonomi secara holistik mencakup kesejahteraan manusia, keberlanjutan sosial, livelihoods, kualitas hidup, dan (v) mengadopsi paradigma ekonomi alternatif sebagai pemandunya.
Kedua, mengarusutamakan keberlanjutan dan kesetaraan sosial dalam penyusunan kebijakan yakni, mendialogkan dalam forum kelautan global, pendanaan yang merepresentasikan masyarakat pesisir termarjinal, mengedepankan keberlanjutan sosial, kesetaraan dan kesejahteraan, dan strategi pembangunan sosial bertujuan mengutamakan perlindungan hak asasi manusia yang menningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, mendorong swasta menerapkan prinsip dan praktik melindungi hak dan mendongkrak kesejahteraan masyarakat melalui: (i) perubahan mentalitasnya dari ‘’do less harm’’ (meminimalisasi kerugian), atau ‘’do not harm’’ (tidak merugi), menjadi ‘’do more good’’ (banyak berbuat kebaikan); (ii) mengefektifkan manfaat tanggungjawab sosial perusahaan (iii) mengadopsi pendekatan alternatif terkait kepemilikan, struktur perusahaan, hingga keadilan mekanisme bagi hasil, dan (iv) formulasi prinsip investasi ESG (environmental, social, and Governance) berbasiskan hak dasar dan aspirasi masyarakat.
Keempat, memperluas model dan potensi pengembangan EB berbasis masyarakat lewat: (i) inisiatif dan dukungannya (ii) potensi pengembangan secara lokal; (ii) artikulasikan visi di level masyarakat pesisir (iii) dukungan badan-badan pembangunan, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil, dan (iv) inisiasi dan pengembangan inovasi pendanaan lokal yang adil.
Gagasan Bennet et al (2022) menekankan “keberlanjutan dan kesetaraan sosial”. Review Blythe et al (2023) memosisikan ‘keadilan biru’ (KB) sebagai sintesis EB imbas dampak buruk implementasinya di berbagai negara. Diantaranya, kemiskinan masyarakat pesisir, degradasi ekosistem, deplesi sumberdaya ikan dan masifnya perubahan iklim. Makanya, ‘mengakui dan melindungi hak’ yang melekat dalam diri setiap orang/komunitas pesisir jadi keniscayaan.
Gagasan antitesis EB yaitu Ekonomi Nusantara (EN). Ia didekonstruksi dan direkonstruksi dari filsafat etnik nusantara, hakikat manusia Indonesia (mahluk individu sekaligus mahluk sosial) melalui pendekatan heterodoks/eklektik.
EN tetap eksis karena, kuatnya solidaritas antargenerasi pelakunya, kuatnya jiwa kewirausahaan sosial berbasis keragaman etnik nusantara, kuatnya pengaruh informasi budaya yang menopang aktivitas ekonominya, kuatnya daya resilensi dan adaptasi menghadapi dinamika serta hegemoni kapitalisme global ternasuk kemajuan teknologi digital; dan kuatnya hubungan patron-client egaliter khas Nusantara berbasiskan modal spritual, agama, budaya, finansial dan sosial.
EN tak mengejar keuntungan ekonomi, melainkan menjamin kohesi sosial, dan solidaritas kehidupan berekonomi supaya terwujud keadilan sosial dan kesejahteraan berkelanjutan. Contohnya Sasi (Maluku), Panglima Laot (Aceh), dan pembuatan kapal Pinisi (Bugis-Makassar).