Bisnis.com, JAKARTA - Jari-jemari Rahmah mulai keriput dimakan usia. Akan tetapi, semangat dan daya juangnya masih membara. Dari balik kerudung cokelat andalannya, senyum perempuan itu merekah tiap kali tangannya menyortir biji kopi. Mengeceknya satu per satu sebelum memasukkannya ke dalam karung goni.
Tiga belas ribu kilometer dari tempat Rahmah berpijak, tepat di bawah pohon mapel di Seattle, pelanggannya mengirim pesan singkat. Kirim lima belas kontainer. Begitu bunyi pesan yang dibaca Rahmah. Perempuan asal Takengon, Aceh Tengah itu girang bukan kepalang. Setelah puluhan tahun menerjang arang, kini Kopi Gayo buatannya siap diekspor ke Negeri Paman Sam.
Rahmah adalah satu dari 64,2 juta pelaku UMKM di Indonesia. Tahun ini, genap 34 warsa ia menggeluti bisnis kopi. Awalnya, ia hanya menjual kopi gelondongan untuk ditukar dengan sembako. Berkat kegigihannya, usahanya terus berkembang hingga sukses menembus pasar global.
Selain berbisnis, Rahmah juga mendirikan dan mengetuai Koperasi Pedagang Kopi Ketiara. Lebih dari 1.500 petani kopi yang tersebar di 19 desa di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah menjadi anggotanya. Dari lahan subur mereka, Kopi Gayo kebanggaan Aceh bisa diekspor ke berbagai negara.
Kesuksesan Rahmah menembus pasar dunia tidak lepas dari dukungan perbankan. Tahun 2015 silam, Rahmah sempat dirundung bimbang. Seusai mengikuti pameran UMKM di Amerika Serikat (AS), calon pelanggannya terpikat dengan cita rasa Kopi Gayo buatannya dan langsung memesan sebanyak 15 kontainer.
Kala itu, produksi kopi Rahmah belum sebesar sekarang. Satu-satunya cara menembus pasar dunia ialah menggandeng petani lokal. Hanya saja, petani kopi di Aceh punya keterbatasan modal. Biaya produksi mereka hanya cukup untuk sekali tanam. Artinya, jika ingin bekerja sama, Rahmah mesti menyiapkan dana segar.
Baca Juga
Beruntung, salah satu bank pelat merah datang membantu. Dukungan pembiayaan diberikan demi memuluskan niat Rahmah menembus pasar dunia. Sekarang, Rahmah dan Koperasi Pedagang Kopi Ketiara mampu mengekspor biji kopi paling sedikit 64 kontainer dalam setahun. Menjadi sumber rezeki bagi ribuan anggota koperasi yang hidupnya kian sejahtera.
Sinergi Jaga Stabilitas
Kisah Rahmah jadi satu dari sekian banyak cerita sukses pelaku UMKM yang bermitra dengan bank. Sebagai lembaga intermediari, bank ibarat agen pembangunan. Kelebihan dana dari masyarakat dihimpun dan disalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada pelaku usaha, guna mengakselerasi roda ekonomi.
Meski demikian, fungsi penting lembaga keuangan itu perlu dirawat agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga. Sebab bank punya tendensi prosiklisitas. Ketika ekonomi tengah naik daun, bank cenderung mengakselerasi pembiayaan, menyebabkan mesin ekonomi cepat panas. Sebaliknya, saat ekonomi melambat, bank mengerem penyaluran kredit, sehingga kian memperlemah daya ungkit ekonomi yang tengah butuh dorongan.
Dalam konteks itu, tentu kita masih ingat episode pilu krisis finansial global 2008-2009. Penyaluran kredit perumahan di AS begitu jor-joran di luar kendali sehingga memicu gagal bayar massal. Imbasnya, harga surat berharga berbasis kredit perumahan di pasar keuangan AS anjlok.
Jatuhnya pasar keuangan AS merambat ke berbagai negara. Bank Dunia mengestimasi lebih dari 67 negara, sebagian besar di Eropa, ikut menanggung resesi akibat efek rambat krisis keuangan di AS.
Indonesia, meski tidak separah negara lainnya, juga merasakan efek negatif krisis keuangan global. Pertumbuhan ekonomi melorot, dari semula 6,1% pada 2008 menjadi hanya 4,5% pada 2009. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga 4,7% menjadi 1.719,25, berada di bawah level psikologis kala itu.
Krisis keuangan global memberi banyak pelajaran bagi ekonomi nasional. Guna mencegah krisis, UU No.9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan diketok palu. Beleid ini terus diperkuat dengan kehadiran UU No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Di titik itulah kita memahami koordinasi antarlembaga jadi prasyarat utama menjaga stabilitas sistem keuangan. Beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); Komite Stabilitas Sistem Keuangan secara rutin mencermati kondisi ekonomi dan keuangan nasional. Agar potensi krisis dapat dicegah sedini mungkin.
Buah sinergitas antar-otoritas keuangan itu bisa kita rasakan saat pandemi Covid-19 menerjang. Dari sisi fiskal, ada kebijakan realokasi anggaran untuk penanganan kesehatan. Di sisi makroprudensial, BI melonggarkan loan to value (LTV) serta uang muka kredit perumahan dan otomotif agar ekonomi punya daya ungkit.
Di samping itu, BI juga mengeluarkan sejumlah kebijakan makroprudensial inovatif. Antara lain menurunkan biaya kredit lewat transparansi suku bunga dasar kredit di sektor perbankan, serta menaikkan rasio insentif makroprudensial (RIM) guna meningkatkan partisipasi bank dalam pembiayaan UMKM.
Pada sisi yang lain, OJK memberi keringanan restrukturisasi kredit agar debitur masih punya ruang bernapas di tengah tekanan resesi. Hal senada juga diberikan LPS dengan menurunkan suku bunga penjaminan simpanan agar bank punya keluangan likuiditas untuk menyalurkan kredit.
Lewat konsistensi dan sinergi kebijakan tadi, stabilitas sistem keuangan relatif terjaga selama episode krisis kesehatan berlangsung. Secara agregat, rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan tidak pernah melampaui angka 3,35% sepanjang 2020-2022. Rahmah, petani kopi di Aceh, serta puluhan juta pelaku UMKM lainnya bisa terlindung dari tantangan finansial mahaberat yang timbul karena isu kesehatan.
Tantangan Ke Depan
Saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakhiri status pandemi Covid-19 pada 5 Mei 2023, bukan berarti tantangan ke depan lebih ringan. Gangguan rantai pasok dan era inflasi tinggi akibat perang Rusia-Ukraina masih menjadi risiko terbesar. Ketidakpastian berlanjut seiring penutupan sejumlah bank besar AS dan potensi gagal bayar utang Pemerintah AS pada 1 Juni 2023 mendatang menyusul pernyataan Menteri Keuangan AS, Janet Yellen.
Guna menekan angka inflasi dan mencegah pembalikan modal, berbagai bank sentral di dunia, termasuk BI, memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan. Di titik inilah kebijakan makroprudensial akomodatif hadir sebagai jamu manis untuk mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan.
Sejak 1 April 2023, BI memberikan insentif berupa pelonggaran giro wajib minimum (GWM) Rupiah secara rata-rata, bagi bank yang memberikan penyediaan dana kepada sektor-sektor prioritas, kredit usaha rakyat, dan kredit/pembiayaan hijau. Total insentif makroprudensial itu dinaikkan, dari semula paling besar 200 basis poin (bps) menjadi paling besar 280 bps.
Dengan kebijakan itu, bank punya likuiditas yang cukup untuk salurkan kredit. Pemulihan ekonomi pascapandemi terus bergulir, terbukti dari ekonomi yang mampu tumbuh lebih tinggi pada kuartal I 2023 (5,03%), melebihi capaian triwulan sebelumnya (5,01%).
Pada akhirnya, tujuan besar menjaga stabilitas sistem keuangan, seperti amanat UU P2SK, hanya bisa dicapai dengan sinergi kebijakan antar-otoritas. Semakin kompak dan kuat sinergi itu, semakin besar pula senyum Rahmah dan pelaku UMKM lainnya di seluruh Indonesia.