Bisnis.com, JAKARTA - Dalam beberapa dekade, dunia mengenal perhitungan dalam kemudahan berinvestasi yang dikenal dengan Easy of Doing Bussiness (EoDB) yang dipublikasikan oleh World Bank sejak 2004.
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya penyimpangan dalam perubahan data (data correction) pada laporan EoDB 2018 dan 2020 untuk empat negara, yaitu Azerbaijan, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan China. Akibatnya, publikasi EoDB 2021 tidak dilakukan. Ke depan, EoDB digantikan dengan B-Ready sejak 2022 dan hasilnya akan dipublikasikan pada 2023.
Hal yang patut kita syukuri adalah secara tren, skor Indonesia relatif lebih baik dari tahun ke tahun. Pada 2013, skor Indonesia 57,8 sedangkan pada 2020 sudah menjadi 69,6.
Jika dilihat dari sisi skor, nilai pada 2020 lebih baik meskipun jika dilihat dari sisi peringkat Indonesia mengalami stagnasi di urutan 73, padahal pencapaian 2020 lebih baik 1,64 poin dibandingkan dengan 2019.
Presiden Jokowi sangat menekankan agar adanya perbaikan yang signfikan dari pencapaian skor EoDB. Presiden menginginkan posisi kita yang semula di ranking ke-70 di dunia menjadi peringkat 40.
Presiden melakukan hal konkret dengan menerbitkan Instruksi Presiden kepada Kepala BKPM melalui Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
Baca Juga
Dari indikator Opening Business, B-Ready bukan sebatas pelaku usaha dapat memulai bisnis, melainkan juga bagaimana ia masuk dalam market. Indikator Operating, dalam B-Reafy ada indikator Market Competition, yang di EoDB belum mengadopsi.
Dari perbedaan ini, ada pergeseran antara B-Ready dengan EoDB, yakni dari yang kehadiran pelayanan administrasi menjadi kemanfaatan layanan. Kemudahan bisnis bukan soal adanya pelayanan ataupun di Indonesia hadirnya lembaga seperti BKPM. Namun, lebih jauh dari itu, apakah hal tersebut memberikan dampak signifikan bagi aktifitas bisnis pelaku usaha.
Berdasarkan data historis EoDB yang menempatkan kita di papan tengah dengan indikator terlemah yang konsisten. Sepertinya, kita tidak akan mengalami perubahan yang signifikan dalam perhitungan EoDB. Penempatan urusan ekonomi bisnis dalam kehidupan bernegara yang masih belum prioritas, dibandingkan urusan politik, tampaknya menjadi tantangan untuk mendapatkan posisi Indonesia berada di papan atas.
Meskipun beberapa hal diatas menunjukkan tantangan untuk kita mendapat posisi teratas dalam B-Ready, tetapi harapan untuk mendapatkan hasil yang lebih masih terbuka lebar.
Indonesia memiliki lembaga otoritas pengawas persaingan usaha yang independen dan relatif lebih terdahulu dibandingkan negara-negara berkembang. Aspek persaingan dan efisiensi yang lebih ditekankan dalam B-Ready menjadikan nilai strategis bagi Indonesia asalkan aspek persaingan usaha menjadi concern bersama.
Persaingan usaha haruslah menjadi strategi nasional untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat dengan indikator peningkatan nilai B-Ready. Persaingan usaha sehat melalui internalisasi dalam kebijakan mutlak dibutuhkan.
Sinergi antara pemerintah dengan KPPU (Otoritas Pengawas Persaingan Usaha) tidak dapat ditawar lagi. Regulasi ke depan bukan soal memberikan kemudahan administrasi berbisnis pelaku usaha, melainkan harus memerhatikan dampak yang sehat bagi lingkungan bisnis.
Efisiensi dalam metode B-Ready pada hakikatnya tertuang dalam regulasi efisiensi dalam Pasal 2 ayat a dan d pada UU No. 5/1999 tentang tujuan dari pembentukan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam ayat a dinyatakan “ dengan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Sedangkan dalam ayat d dinyatakan “terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.” Dalam diskursus hukum persaingan keduanya dikenal dengan efisiensi makro dan efisiensi mikro.
Ke depan, seluruh kebijakan harus terinternalisasi nilai-nilai persaingan usaha, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam aplikasi global, OECD mengenalkan tools yang disebut dengan competition check list, yang menjadi upaya agar setiap kebijakan tidak bertentangan dengan persaingan usaha.
Khusus di Indonesia, KPPU telah menelurkan Asesmen Kebijakan Persaingan Usaha (AKPU) bentuk lain dari competition check list. Ke depan, payung hukum penerapan AKPU bagi para pembuat kebijakan sangat dinantikan.
Pada dasarnya, para akademisi di bidang ekonomi telah mengetahui bagaimana melakukan perbaikan untuk Indonesia. Persoalannya, kebijakan bukanlah hanya ada di kertas karya akademik. Kebijakan ada dalam ranah hukum dan politik. Pemikiran teknokratik dibutuhkan untuk masuk ke ruang-ruang pengambil kebijakan, meskipun teknokrat tidak harus sebagai pengambil kebijakan.
Pembuatan regulasi yang terencana, transparan, dan memerhatikan iklim bisnis sangat perlu untuk dilakukan. Regulasi dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan publik dan bukan sebatas ego sektoral. Perbaikan sistem layanan digital yang efisien dan efektif menjadi penting, karena bukan sebatas hadirnya aplikasi, melainkan bagaimana dampak dan kemanfaatannya.
Secara prinsip B-Ready yang dilakukan oleh World Bank adalah potret, artinya kita tidak boleh mempersoalkan hasil potretnya. Namun, tidak salahnya kita melakukan refleksi diri karena hasil potret menjadi rujukan bagi para investor dunia.
Investor tentunya lebih meyakini pengukuran dari World Bank dibandingkan klaim tiap-tiap negara karena mempelajari hasil potret bukan untuk mengubah potret, melainkan membantu kita mengevaluasi bentuk asli dengan melakukan perbaikan agar kedepannya tecermin dalam potret yang bernama B-Ready.