Bisnis.com, JAKARTA — Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia mendorong pembiayaan masif dari potensi perdagangan kredit karbon untuk merealisasikan program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butarbutar mengatakan, opsi itu diambil lantaran beberapa negara mitra dan lembaga pembiayaan komersial yang tergabung ke dalam JETP belum memberi kepastian konkret ihwal pendanaan transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU, yang telah jadi komitmen saat pergelaran G20 di Bali akhir tahun lalu.
“Ketika kita ingin pensiun dini PLTU, kita ingin ada pendanaan tambahan. Pendanaan tambahan ini karena sekarang ini belum banyak pihak yang bersedia untuk membayar kompensasi atas penghentian 5 gigawatt [GW] yang kita sampaikan tadi. Jadi perdagangan karbon kredit jadi salah satu opsi,” kata Paul saat acara Signing Ceremony UK PACT Carbon Pricing di Jakarta, Senin (24/7/2023).
Lewat rencana kerja yang disampaikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, perusahaan setrum pelat merah itu mengajukan sekitar 5 GW kapasitas terpasang untuk dipensiunkan dini dari bantuan pendanaan murah dunia internasional sebelum 2030.
Hanya saja, pemerintah mengidentifikasi beberapa negara dan lembaga keuangan yang tergabung di dalam JETP masih ragu untuk menyalurkan kompensasi lantaran pembiayaan yang berisiko pada portofolio batu bara, kendati pembiayaan itu untuk mempercepat usia operasi kontrak pembangkit fosil tersebut.
Berdasar pada kapasitas yang disodorkan PLN, pemerintah membuat ilustrasi setiap tahunnya energi listrik dari PLTU yang dihasilkan mencapai 6,132 GWh dengan intensitas emisi 1.000 ton per GWh. Dengan asumsi percepatan masa operasi 10 tahun, terdapat penghindaran emisi atau avoided emissions sebesar 61,3 juta ton C02.
Baca Juga
Hitung-hitungan penghindaran emisi itu yang diharapkan dapat diperdagangkan sebagai kredit karbon di pasar primer antarbadan usaha dan pasar sekunder lewat mekanisme penawaran dan permintaan di bursa.
“Hingga saat ini belum ada metodologi yang mengatur bagaimana klaim itu bisa dilakukan, bagaimana avoidance bisa dihitung sebagai karbon kredit, saat ini sedang disiapkan sekitar bulan November untuk public consultation,” kata dia.
Opsi pendanaan lewat kredit karbon itu lebih dahulu diadopsi perusahaan utilitas listrik multinasional Prancis, Engie. Pemerintah berharap pengalaman yang telah diambil Engie itu dapat ditiru untuk mempercepat program pensiun dini PLTU yang saat ini terhalang skema pembiayaan.
Sebelumnya, PLN menetapkan syarat yang tegas untuk program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam rencana investasi komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, perseroannya meminta JETP untuk menjamin adanya hibah atau grant untuk setiap PLTU yang dipensiunkan dini. Darmawan beralasan program pensiun dini itu tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia tetapi juga dunia.
Dengan demikian, kata Darmawan, keputusan untuk mempercepat penghentian operasi pembangkit fosil nasional itu mesti dinilai dengan sepadan lewat kompensasi JETP tersebut.
“Kami sampaikan apa adanya, silakan saja kalau mau ada early retirement of coal, tapi aset ini tolong dihitung dan tolong diganti dengan cash di JETP,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat (RDP) Panja Transisi Energi dengan Komisi VI, Rabu (12/7/2023).
Dengan kompensasi lewat bentuk hibah tersebut, Darmawan mengatakan, beban take or pay (ToP) dari pembangkit swasta dapat berangsur menipis sesuai dengan sisa kontrak.
“Kalau nilai pembangkit masih ada Rp10 triliun tolong diganti Rp10 triliun, dimasukan ke kami dalam bentuk grant dan kami bisa bangun EBT, untung kami tidak buntung,” kata dia.