Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menetapkan syarat yang tegas untuk program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam rencana investasi komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership atau JETP.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan perseroannya meminta JETP untuk menjamin adanya hibah atau grant untuk setiap PLTU yang dipensiunkan dini. Darmawan beralasan program pensiun dini itu tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia tetapi juga dunia.
Dengan demikian, kata Darmawan, keputusan untuk mempercepat penghentian operasi pembangkit fosil nasional itu mesti dinilai dengan sepadan lewat kompensasi JETP tersebut.
“Kami sampaikan apa adanya mangga saja kalau mau ada early retirement of coal, tapi aset ini tolong dihitung dan tolong diganti dengan cash di JETP,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat (RDP) Panja Transisi Energi dengan Komisi VI, Rabu (12/7/2023).
Dengan kompensasi lewat bentuk hibah tersebut, Darmawan mengatakan, beban take or pay (ToP) dari pembangkit swasta dapat berangsur menipis sesuai dengan sisa kontrak.
“Kalau nilai pembangkit masih ada Rp10 triliun tolong diganti Rp10 triliun, dimasukan ke kami dalam bentuk grant dan kami bisa bangun EBT, untung kami tidak buntung,” kata dia.
Baca Juga
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah masih bernegosiasi untuk mengamankan porsi pendanaan murah transisi energi dari pakta iklim Amerika Serikat dan Jepang bersama rekanan lainnya tersebut.
“Kalau hibah di angka US$160 juta, technical assitant kisarannya sekitar itu juga, nanti ada yang pasti US$10 miliar pinjaman komersial, rate-nya [bunga] belum tahu sampai sekarang,” kata Dadan saat ditemui di Jakarta, Selasa (276/20230).
Seperti diketahui pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP itu sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar setara dengan Rp299,74 triliun dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk pemerintah Indonesia.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
“Sebagian hibah itu masuknya di dalam pengerjaan feasibility study, itu masuknya begitu, kan angkanya US$150-an juta, nggak bakalan cukup untuk danai proyek,” kata Dadan.
Di sisi lain, Dadan mengatakan, pemerintah telah menyampaikan lima prioritas program yang potensial untuk didanai JETP, di antaranya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi, rasio elektrifikasi, serta infrastruktur transmisi.
Adapun, PLN tengah mengonsolidasi seluruh program hijau yang belum memeroleh pendanaan untuk masuk ke dalam CIPP skema JETP.
Lewat konsolidasi proyek itu, PLN telah menyiapkan 522 proyek pembangkit EBT potensi yang seluruhnya berasal dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 untuk dapat didanai JETP. Total kapasitas daya setrum yang dihasilkan dari 522 proyek EBT itu mencapai sekitar 15,1 gigawatt (GW) sampai akhir 2030.