Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor RI Lesu, Apindo Dorong Pemerintah Diversifikasi Produk & Negara Tujuan

Apindo memperkirakan ekspor komoditas akan terus terkontraksi hingga akhir tahun seiring normalisasi rantai pasok.
Ilustrasi kapal mengangkut kontainer untuk diekspor ke luar neger. JIBI/Rifki
Ilustrasi kapal mengangkut kontainer untuk diekspor ke luar neger. JIBI/Rifki

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pemerintah perlu melakukan diversifikasi produk dan tujuan ekspor untuk menjaga kinerja perdagangan Indonesia.

Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ekspor komoditas akan berangsur sunset hingga akhir tahun karena normalisasi rantai pasok dan penurunan harga komoditas di pasar global yang sebelumnya terkena imbas karena konflik di Ukraina.

Selain itu, ekspor produk bernilai tambah atau manufaktur juga diperkirakan akan terus mengalami kontraksi permintaan global hingga akhir tahun karena imbas dari inflasi potensi krisis ekonomi di pasar-pasar besar dunia, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Meskipun outlook ini terkoreksi karena risiko krisis di negara maju menurun, Shinta tidak melihat ada perubahan total permintaan ekspor yang signifikan terhadap produk manufaktur, khususnya yang padat karya. Pasalnya, tidak ada reformasi struktural yang signifikan di sektor tersebut untuk meningkatkan daya saing ekspor manufaktur secara signifikan atau untuk mempercepat diversifikasi ekspor.

“Karena itu, sejak akhir tahun lalu kami menyampaikan bahwa pemerintah perlu fokus untuk melakukan diversifikasi ekspor dan diversifikasi tujuan ekspor agar penerimaan ekspor bisa lebih stabil atau tidak turun drastis,” ungkap Shinta kepada Bisnis, Senin (24/7/2023).

Badan Pusat Statistik mencatat ekspor Indonesia pada Juni 2023 mencapai US$20,61 miliar atau turun sebesar 5,08 persen dibanding Mei 2023 (month-on-month/mom) dan turun 21,18 persen dari Juni 2022 (year-on-year/yoy). Ekspor migas dan nonmigas juga mengalami penurunan dengan masing-masing sebesar 3,64 persen (MoM) dan 5,17 persen (MoM).

Pelemahan kinerja ekspor terjadi pada seluruh sektor pada Juni 2023. Sektor pertambangan menjadi sektor yang mengalami penurunan terdalam sebesar 15,30 persen (mom), disusul sektor pertanian sebesar 7,89 persen (mom), dan sektor industri pengolahan 2,24 persen (mom).

Penurunan nilai ekspor disebabkan turunnya harga beberapa komoditas unggulan Indonesia di pasar global, di antaranya batu bara (turun 6,78 persen), CPO (turun 3,90 persen), karet (turun 1,52 persen), aluminium (turun 1,58 persen), dan nikel (turun 1,19 persen).

Shinta memperkirakan melandainya kinerja perdagangan Indonesia bakal berdampak luas terhadap kegiatan ekonomi, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun penerimaan pajak.

Dia menuturkan, kinerja eskpor sangat berperan terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, efek multiplier ini khususnya akan semakin besar bila ekspor yang dominan adalah ekspor manufaktur/ekspor produk bernilai tambah.

“Ini bukan hanya dari tingkat kontribusinya terhadap PDB yang hampir 23 persen dari PDB kuartal I/2023, tetapi yang lebih penting adalah efeknya sebagai economic multiplier atau stimulan untuk menciptakan kegiatan ekonomi produktif,” ujar Shinta.

Shinta memperkirakan perlambatan pertumbuhan ekspor tentu akan memengaruhi potensi capaian pertumbuhan PDB pada akhir tahun. Kendati demikian, seberapa besar dampak perlambatannya terhadap capaian pertumbuhan belum diketahui secara pasti. Sebab, Indonesia masih punya waktu untuk mengompensasi kekurangan penerimaan ekspor sehingga capaian pertumbuhan bisa tercapai.

“Tetapi saat ini kami belum bisa memperkirakan akan di-offset seperti apa karena di sisi pertumbuhan daya beli dan konsumsi pertumbuhannya tidak cukup signifikan, di sisi investasi juga demikian,” ungkapnya.

Sementara itu, kata Shinta, di sisi iklim usaha yang bisa memicu pertumbuhan ekspor sektor manufaktur hampir tidak ada yang spesial sehingga tidak memungkinkan ada diversifikasi produk ekspor yang bisa dijadikan kompensasi ekspor komoditas yang harganya akan semakin melandai.

Apalagi, risiko tertekannya ekonomi makin besar ketika pemerintah menambah daftar komoditas yang dilarang dan dibatasi ekspornya seperti kayu, porang, pupuk, hewan dan produk hewan, konsentrat tambang, dan beras. Hal itu sejalan dengan Permendag No.22/2023 yang terbit pada 10 Juli 2023.

“Jadi kami juga bertanya-tanya pemerintah punya opsi subtitusi penerimaan ekspor atau penerimaan pertumbuhan PDB lain yang seperti apa untuk mengompensasi kinerja ekspor akan hilang karena sunset-nya commodity price booming dan perluasan larangan ekspor komoditas seperti ini,” jelas Shinta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper