Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom meminta pemerintah untuk tetap mengantisipasi potensi kontraksi yang terjadi pada sektor manufaktur kendati laporan Prompt Manufacturing Index (PMI) dari Bank Indonesia (BI) yang terbilang tinggi pada triwulan II/2023 di level 52,39 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan kinerja sektor manufaktur pada triwulan ketiga masih akan berada di bawah tekanan yang cukup besar di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini.
“Saya sendiri sebetulnya tidak seoptimis BI ya untuk peforma di triwulan ketiga, tidak setinggi yang diprediksikan oleh BI. Saya melihat masih ada potensi tekanan yang cukup besar,” kata Faisal saat dihubungi, Jumat (14/7/2023).
Faisal berpendapat sektor manufaktur bakal bertumpu pada permintaan pasar di dalam negeri pada sisa paruh tahun kedua ini. Tumpuan itu beralasan ketika permintaan dari negara tujuan ekspor belakangan mulai melandai.
“Kita tahu sendiri bahwa permintaan dalam negeri sendiri tidak baik-baik saja, sekarang tidak terkontraksi tapi tidak juga cukup besar ekspansinya,” ujarnya.
Di sisi lain, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, meminta BI untuk dapat memangkas suku bunga mengikuti tren yang saat ini dilakukan Bank Sentral China atau PBOC.
Baca Juga
Andry berpendapat manuver PBOC itu berpotensi diikuti oleh pasar di Asia, seperti Korea Selatan dan Indonesia.
“Kita harapkan dengan pemangkasan ini kinerja manufaktur bisa kembali ekspansif,” kata Andry.
Kendati demikian, Andry mengatakan, harga gas industri domestik yang belakangan dilepas ke level tertinggi US$7 per juta metrik british thermal unit (MMBtu) turut menjadi faktor koreksi dari kinerja manufaktur di akhir tahun.
“Ini yang menurut saya patut diwaspadai karena bisa berdampak kepada industri karena bahan baku gas ini cukup krusial bagi kinerja industri dan memengaruhi kompetitifnya dari produk yang kita hasilkan,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melaporkan kinerja lapangan usaha (LU) industri pengolahan semakin berekspansi pada kuartal II/2023, yang tercermin dari Prompt Manufacturing Index (PMI) sebesar 52,39 persen.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, mengungkapkan bahwa capaian tersebut lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang berada di level 50,75 persen.
Peningkatan yang terjadi tercatat pada seluruh komponen pembentuk PMI-BI terutama volume produksi, volume pesanan, dan volume persediaan barang jadi yang berada dalam fase ekspansi (indeks>50).
“Perkembangan PMI-BI tersebut sejalan dengan perkembangan kegiatan LU Industri Pengolahan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha [SKDU] BIa yang tercatat meningkat dengan nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar 2,21 persen,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/7/2023).
Berdasarkan Sublapangan Usaha (SubLU), Erwin menyampaikan peningkatan terjadi pada mayoritas SubLU, dengan indeks tertinggi terjadi pada industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki.
Kemudian diikuti industri mesin dan perlengkapan, industri barang galian bukan logam, serta industri kimia, farmasi, dan obat tradisional.