Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menyebut ada potensi kerugian hingga US$7 miliar atau Rp104 triliun akibat regulasi EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang diterapkan Uni Eropa.
Menurutnya, kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak kepada 15—17 juta pekebun Indonesia dan produk Indonesia hingga senilai US$7 juta atau sekitar Rp104,7 triliun (kurs Rp 14.962 per dolar AS) pada ekspor komoditas perkebunan dan peternakan Indonesia.
"Ini sangat mengganggu small holder hingga 15-17 juta pekebun kita akan terdampak dengan ini dan juga masalah geolocation yang kita berkeberatan karena tidak perlu geolocation untuk setiap produk itu dicek karena kita punya berbasis standar RSPO ataupun SVLK," ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (13/7/2023).
Apalagi, dia mengatakan bahwa dari hasil ini EUDR tersebut akan berimbas terhadap 7 komoditas yaitu sapi, kakao, sawit, soya, timber (kayu), dan karet.
Airlangga mengatakan, Eropa meminta agar barang-barang atau komoditas yang masuk ke Eropa bebas dari deforestasi—tergantung kepada undang-undang di negara masing-masing—dan dilengkapi uji kelayakan.
Selain itu, negara-negara juga akan diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan risikonya, yaitu risiko tinggi (high risk), risiko standar (standard risk), dan risiko rendah (low risk).
Baca Juga
Adapun, dia menjelaskan bahwa dampak lainnya dari EUDR akan mengenakan produk-produk sesuai dengan risiko deforestasi, yaitu produk berisiko tinggi mendapatkan bea tambahan sebanyak 8 persen, risiko sedang 6 persen, dan risiko rendah 4 persen.
Menurutnya, agar tidak mendapatkan bea tambahan tersebut, produk yang akan masuk ke Eropa harus terverifikasi, sehingga pemerintah akan mengajukan agar panduan verifikasi tersebut mengadopsi beberapa sertifikasi lokal.
Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia menaruh perhatian pada aturan yang sudah diundangkan di Eropa tersebut.
Pemerintah berharap pedoman pelaksanaan regulasi tersebut dapat mengadopsi apa yang sudah menjadi praktik terbaik selama ini seperti sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk produk kayu atau roundtable on sustainable palm oil (RSPO) untuk komoditas sawit.
"Kami ingin agar implementation guideline-nya itu mengadopsi apa yang sudah ada menjadi best practice, termasuk untuk kayu SVLK, kemudian sawit RSPO, ataupun joint mission dengan Malaysia menjadi MSPO," pungkas Airlangga.