Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) angkat bicara mengenai wacana pelarangan iklan rokok secara total oleh pemerintah dan menyebutkan hal tersebut menjadi upaya untuk melemahkan industri hasil tembakau (IHT).
Ketua Gaprindo Benny Wachjudi memandang hal tersebut sebagai hal yang tidak adil, dikarenakan menurutnya saat ini, pelaku industri tembakau merasa telah menjalankan usaha di bawah regulasi yang ketat.
Terlebih menurutnya, regulasi yang dibuat pemerintah untuk mengatur industri ini jauh lebih ketat dibandingkan regulasi-regulasi untuk industri legal lainnya, yang juga berkontribusi bagi perekonomian negara.
“Tidak ada alasan untuk melarang total iklan produk IHT karena produk dan konsumen IHT adalah legal,” tutur Benny, Senin (10/7/2023).
Menurutnya, dalam hal ini baik konsumen maupun produsen memiliki hak yang sama. Dengan demikian, Benny memandang pelarangan iklan rokok ini menjadi sebuah tindakan pelanggaran hak asasi.
”Saat ini, aturan yang berlaku untuk mengatur industri tembakau sudah cukup ketat untuk membatasi iklan rokok. Yang diperlukan saat ini adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat,” tambah Benny.
Baca Juga
Benny menjelaskan, pelaku industri rokok dipaksa untuk menaati sederet peraturan yang ada, bukan dari sisi non-cukai saja seperti pelarangan iklan ini, tetapi juga dari sisi cukai. Hal ini menurutnya membuat IHT dijepit oleh dua sisi regulasi yang kuat.
Sebelumnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) 5/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, iklan rokok sudah dibatasi dengan izin tayang hanya pada pukul 21.30 hingga 05.00 baik di televisi maupun radio.
Di sisi cukai, pemerintah juga telah resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen untuk 2023 dan 2024 yang harus ditaati oleh pelaku usaha sektor ini.
Sementara, Benny menyebut Gaprindo mencatat pada sebelum pandemi pada 2019 lalu IHT nasional mampu memproduksi sebanyak 355,8 miliar batang. Namun, usai pandemi pada 2022, industri ini hanya mampu memproduksi sebanyak 330,7 miliar.
Dari angka tersebut, terlihat bahwa produktivitas sektor ini menurun sebesar 2,42 persen per tahun selama kurun waktu tersebut.
”Bahkan industri yang bernaung di bawah Gaprindo mengalami penurunan produksi yang lebih drastis lagi,” terangnya.
Dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) dari industri ini juga mengalami penurunan sebesar 7,26 persen pada kuartal I/2023 yaitu Rp20,37 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) yang sebesar Rp21,96 triliun.
Padahal menurut Benny, industri yang digawanginya itu telah berkontribusi banyak pada penerimaan negara dari tahun ke tahun.
Dalam catatan Bisnis.com, CHT merupakan salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara dari sektor bea dan cukai. Pada tahun lalu, realisasi penerimaan CHT menembus Rp218,62 triliun, melampaui target yang ditetapkan.