Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 5 pabrik di Jawa Barat dan satu pabrik di Banten dilaporkan pernah terjadi kasus pelecehan seksual yang menimpa karyawannya. Sebelumnya, pabrik juga rentan akan kasus PHK karyawan.
Hal tersebut berdasarkan survei pada 4.529 pekerja di 149 pabrik tekstil, garmen, alas kaki, dan kulit (TGSL) di lima wilayah Indonesia pada 2022 menurut laporan survei Kelayakan Kerja Program Data Academy oleh Gajimu.com dan Trade Union Rights Centre (TURC).
External Project Manager Gajimu Dela Feby mengatakan fakta ini disampaikan oleh sebanyak 194 responden atau artinya 1 dari 20 responden yang bekerja di pabrik TGSL melaporkan adanya kasus pelecehan seksual di tempat kerjanya dalam satu tahun terakhir. Dominasi perempuan di pabrik TGSL membuat pekerja perempuan rentan akan pelecehan seksual.
“Sebanyak 115 responden atau 5,5 persen dari keseluruhan responden perempuan menyatakan bekerja di pabrik dengan laporan pelecehan seksual. Persentase ini lebih besar daripada 79 responden atau 4,6 persen dari keseluruhan responden laki-laki yang menyatakan hal yang sama,” ujar Dela Feby dalam keterangan tertulisnya, Senin (26/6/2023).
Menurut usianya, ujar Dela, sebanyak 90 responden adalah pekerja muda atau 7,4 persen dari keseluruhan responden dalam rentang usia 20-29 tahun dan 56 responden atau 4,8 persen dari keseluruhan responden berusia 30-39 tahun.
“Data ini memperkuat berbagai data yang dimiliki lembaga pemerhati isu perburuhan. Ini menunjukkan betapa pentingnya instrumen hukum yang dapat melindungi pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja. Di sisi lain, ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja belum juga menemui titik terang,” tutur Dela.
Baca Juga
Menjawab hal ini, kata dia, Menteri Ketenagakerjaan RI menerbitkan Kepmenaker No. 88/2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja yang di dalamnya menyebut payung hukum Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12/2022 sebagai dasarnya.
Dela mengatakan, bahwa pedoman yang belum genap sebulan ini merupakan angin segar dalam upaya penghapusan pelecehan seksual, tapi Gajimu menemukan beberapa catatan yang justru melemahkan upaya tersebut.
“Utamanya pedoman ini menjadikan aspek penanganan, pelindungan, dan pemulihan hanya sebagai tahapan. Sedangkan dalam UU TPKS, ketiga aspek ini jelas-jelas disebut sebagai hak korban Imbasnya dalam bagian pelindungan, pedoman memberikan layanan yang setara kepada korban dan pelaku apabila terjadi pelanggaran norma ketenagakerjaan dan atau perselisihan hubungan industrial oleh perusahaan akibat kekerasan seksual,” ujar Dela.
Demikian pula pada bagian pemulihan, lanjut dia, cuti yang menjadi hak korban dalam hal memerlukan konseling karena trauma dan menjalani proses penanganan kasus adalah cuti sakit. Dalam praktiknya, catatan cuti sakit turut menjadi penilaian kinerja pekerja. Di sektor TGSL khususnya, pekerja dianggap tidak memenuhi target kerja karena cuti sakit.
Ditambah lagi, menurut Dela pedoman ini menitikberatkan kewajiban pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada Satuan Tugas (Satgas) yang terdiri dari perwakilan pengusaha dan perwakilan pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tiap-tiap perusahaan. Namun, kewajiban ini tidak dilengkapi dengan ketentuan terkait rekam jejak anggota Satgas, kesiapan, dan kompetensi anggota Satgas.
Padahal, kata Dela, mereka memiliki tugas yang cukup berat, antara lain: menyusun dan melaksanakan program pencegahan kekerasan seksual, menerima, mencatat dan mengumpulkan data kasus kekerasan seksual, memberikan pendampingan kepada korban, dan memberi pertimbangan kepada korban dan perusahaan mengenai penyelesaian lebih lanjut dari pengaduan kekerasan seksual yang diterima.
“Gajimu berharap sejumlah catatan ini segera dijawab dan dipertimbangkan untuk diperbaiki oleh pihak Kementerian sebelum pedoman dapat benar-benar diaplikasikan di dunia kerja,” ucapnya.