Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha memperkirakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional diperkirakan tidak akan melebihi level US$1.000 per ton hingga akhir tahun ini. Hal tersebut dipengaruhi laju permintaan CPO yang menurun lantaran pasokan minyak nabati non-CPO tinggi di pasar.
Melansir Tradingeconomics, pada sesi siang perdagangan hari ini, Senin (26/6/2023), harga CPO bergerak di rentang MYR3.652 per ton atau sekitar US$779,18 per ton (kurs MYR4,69 per dolar AS).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, kondisi melemahnya harga dan permintaan CPO tentunya bakal juga berdampak terhadap penerimaan negara yang saat ini terus menipis.
“Diperkirakan sampai akhir tahun ini kondisi begini, harganya ini US$1.000-an. Suplai minyak nabati ini memang cukup besar, minyak nabati nonsawit,” ujar Eddy kepada Bisnis, Senin (26/6/2023).
Selain pasokan minyak nabati non-CPO yang tinggi, dia juga mengungkapkan bahwa terjadi penurunan permintaan ekspor dari importir utama Indonesia, yaitu India dan China. Khusus India, Eddy mengatakan, negara itu bahkan saat ini meningkatkan produksi sawit dan biji bunga mataharinya.
“Kemarin pas kebijakan setop ekspor dari kita [28 April-23 Mei 2022], mereka berpikir jika terus bergantung terhadap Indonesia bahaya. Pengalaman mereka begitu akhirnya mereka juga berpikir meningkatkan produksi dalam negeri,” ungkap Eddy.
Baca Juga
Dia menuturkan, efek dari melemahnya harga dan permintaan CPO tersebut turut membuat harga tandan buah segar (TBS) sawit petani anjlok.
“Iya tentunya [turun]. Tapi kemarin tidak turun terus tapi sekarang naik lagi meski sedikit. Dengan suplai minyak nabati nonsawit yang tinggi di Eropa harus siap-siap dengan kondisi begini,” kata Eddy.
Dengan demikian, dia mengatakan, pelaku usaha berharap agar kebijakan pemerintah turut membantu mengkondusifkan industri sawit agar dampaknya tidak terlalu dalam.
“Jangan sampai nanti kebijakan malah menekan industri sawit jadi tidak kompetitif. Ini kami harap tidak terjadi kepada pemerintah. Nanti yang disalahkan ujung-ujungnya pengusaha juga,” ujar Eddy.
Pada periode 16-30 Juni 2023 sendiri harga referensi (HR) produk CPO untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau biasa disebut pungutan ekspor (PE), yakni ditetapkan US$723,45/mt. Nilai ini turun US$88,23 atau 10,87 persen dibandingkan periode 1–15 Juni 2023 yang tercatat US$811,68/mt.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat penerimaan negara dari bea cukai merosot 15,64 persen (year-on-year/yoy) pada Mei 2023, mencapai Rp118,36 triliun atau baru 39 persen dari target tahun ini.
Sri Mulyani menuturkan, penurunan tersebut akibat bea keluar atau pajak ekspor dari minyak sawit mentah CPO dan beberapa komoditas mineral yang anjlok cukup tajam.
"Bea cukai mengalami pertumbuhan negatif 15,64 persen karena beberapa hal, satu lingkungan global menyebabkan banyak harga komoditas mengalami koreksi dan ini terlihat dari bea keluar kita," ujarnya saat konferensi pers, Senin (26/6/2023).