Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Achmad Widjaja, menilai negatif kebijakan pemerintah melepas harga jual gas tertentu atau HGBT industri ke dalam negosiasi business to business bersama kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Ketentuan yang makin longgar soal harga itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Harga yang diterima industri penerima manfaat kompak naik menjadi lebih tinggi dari patokan sebelumnya US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu) atau maksimal US$7 per MMBtu.
“Industri masih kalang kabut dengan Kepmen terakhir itu, dengan adanya harga perubahan, pemerintah buat skema di Jawa Barat berapa, di Jawa Timur berapa di Jawa Tengah berapa, lalu negosiasi sendiri dalam kerangka US$6 per MMBtu atau US$7 per MMBtu itu kan dilepas, untuk dinegosasi masing-masing,” kata Achmad saat dikonfirmasi, Selasa (20/6/2023).
Menurut Achmad, ketentuan itu justru membuat hitung-hitungan investasi dan rencana kerja perusahaan menjadi tidak pasti. Lantaran, masih terdapat ruang yang lebar bagi KKKS untuk bernegosiasi ihwal harga gas yang dijual ke pembeli.
Dia menyebutkan situasi itu juga dialami beberapa industri yang berada di jalur pipa transmisi Cirebon-Semarang (Cisem) Tahap I (Ruas Semarang-Batang). Pemerintah, imbuhnya, belum dapat menjamin harga gas yang diterima industri sekitaran pipa transmisi Cisem tersebut berada di angka US$6 per MMMBtu.
Baca Juga
“HGBT ini harusnya dibikin satu harga, satu kebijakan, jangan dibikin mengambang begitu jadi kita kan susah menentukan anggaran dan bujet ke depan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerangkan keputusan untuk menaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk tujuh industri penerima manfaat disebabkan karena ongkos produksi yang makin mahal di sisi hulu.
Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, mengatakan penyesuaian HGBT itu dilakukan untuk mengimbangi biaya produksi dari lapangan-lapangan tua yang ada di dalam negeri.
Langkah itu diharapkan dapat tetap menjaga penerimaan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau KKKS sembari memastikan investasi di sisi hulu tetap kompetitif.
“Kondisinya kan lapangan yang makin tua itu biaya lebih besar, kalau biaya lebih besar otomatis kita juga tidak bisa potong lebih banyak juga,” kata Tutuka saat ditemui di DPR RI, Rabu (14/6/2023).
Lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, harga yang diterima industri penerima manfaat kompak naik menjadi lebih tinggi dari patokan sebelumnya US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu) atau maksimal US$7 per MMBtu.
Aturan ini ditetapkan pada 19 Mei 2023 dan mencabut Kepmen ESDM Nomor 134.K/HK.02/MEM.M/2021, serta mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Tutuka menuturkan pemerintah kesulitan untuk memotong penerimaan bagian KKKS lantaran berisiko pada iklim investasi hulu migas di dalam negeri. Sementara, bagian negara sudah terpotong cukup lebar untuk mengkompensasi kekurangan pada skema awal yang dipatok US$6 per MMBtu.
“Dengan berjalannya waktu lapangan itu biasanya bianyanya lebih tinggi karena masalah air dan sebagainya. Kita mesti hati-hati betul supaya bagaimana penerimaan negara dikurangi tidak mengurangi peneriman KKKS sehingga harganya masih paling minim bisa dijangkau,” tuturnya.