Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan produksi bioetanol yang berasal dari tebu sebagai bahan bakar nabati atau biofuel dapat menyentuh kapasitas minimal 1,2 juta kiloliter (KL) pada 2030.
Target itu tertuang dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang diteken 16 Juni 2023 lalu.
Jokowi meminta kementerian teknis dan badan usaha terkait untuk meningkatkan produktivitas tebu sebesar 93 ton per hektar melalui perbaikan praktik agrikultur serta penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700.000 hektar yang bersumber dari lahan perkebunanan, lahan tebu rakyat dan lahan kawasan hutan.
Selain itu, Jokowi juga menargetkan terjadinya peningkatan efisiensi, utilisasi dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai rendemen sebesar 11,2 persen.
“Pencapaian peningkatan produksi bioetanol sebagaimana dimaksud diwujudkan paling lambat pada 2030,” tulis Jokowi lewat salinan Perpres dikutip Senin (19/6/2023).
Lewat peta jalan itu, pencapaian swasembada gula untuk kebutuhan konsumsi dan industri paling telat ditenggat masing-masing pada 2028 dan 2030. Kendati demikian, kementerian dan lembaga teknis terkait masih diberi ruang cukup lebar untuk melakukan impor gula konsumsi dan industri nantinya.
Baca Juga
Sementara itu, pemerintah menugaskan PT Perkebunan Nusantara III untuk meningkatkan produktivitas gula terkait dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan bioetanol sebagai bahan bakar nabati.
“Peningkatan produktivitas tebu [PTPN III] sebesar 87 ton per hektar melalui perbaikan praktik agrikultur serta perluasan areal lahan perkebunan tebu paling sedikit seluas 179.000 hektar,” tertulis dalam Perpres tersebut.
PTPN III ditargetkan dapat memasarkan paling sedikit produk berupa fuel grade bioethanol, extraneutral alcohol, technical alcohol dan industrial ethanol grade.
Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan kebijakan bauran bahan bakar nabati (BBN) bioetanol 5 persen dengan BBM RON 92 atau Pertamax tahun ini.
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, mengatakan implementasi program E5 itu diharapkan dapat menjadi sinyal positif bagi investasi serta pengembangan bahan baku bioetanol sebagai bahan bakar pendamping Pertamax di tengah momentum transisi energi saat ini.
“Kalau sudah dimulai ini akan memberi sinyal kepada pengusaha untuk mengembangkan program ini,” kata Saleh saat workshop media dikutip Minggu (21/5/2023).
Pencampuran bioetanol sejatinya telah diujicoba dengan kandungan 2 persen (E2) di Jawa Timur pada 2018, namun hasil menunjukan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit di atas harga BBM non penugasan.
Namun, dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, kebijakan BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis belakangan ini. Di sisi lain, kapasitas produksi bioetanol fuel grade baru mencapai 40.000 kiloliter (KL) per tahun.
Kemampuan itu masih terbilang jauh dari kebutuhan 696.000 KL untuk implementasi bauran etanol dengan BBM jenis bensin pada tahap awal di Jawa Timur dan Jakarta.