Bisnis.com, JAKARTA – Morgan Stanley memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat ke tingkat 2,9 persen pada 2023 dan berisiko lebih rendah dari angka tersebut.
Sementara pada 2024, Morgan Stanley memperkirakan ekonomi global akan kembali melambat dengan tingkat pertumbuhan sebesar 2,8 persen, di mana pertumbuhan ekonomi kawasan Asia akan lebih tinggi dibandingkan negara maju.
“Pemulihan ekonomi China akan mendukung kekuatan regional, tetapi kekuatan jangka menengah berasal dari India dan Indonesia,” tulis Morgan Stanley dalam laporan terbarunya, dikutip Jumat (9/6/2023).
Di sisi lain, ekonomi negara berkembang lainnya diperkirakan tetap melemah, tetapi akan membaik di sebagian besar negara pada 2024 seiring dengan penurunan suku bunga riil dan pemulihan permintaan domestik.
Sementara itu, kebijakan moneter yang ketat di sebagian besar negara maju dinilai akan menyebabkan pertumbuhan yang lambat, terutama di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Sebaliknya, Jepang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan di atas tren karena pelonggaran inflasi dan kebijakan yang masih akomodatif.
Untuk skenario negatif, perlambatan ekonomi di AS diperkirakan melambat secara signifikan, di mana kebijakan moneter yang sangat restriktif memperburuk penurunan kredit di sektor perbankan.
Kondisi ini akan memicu kontraksi dalam pengeluaran konsumsi dan investasi dan kenaikan tingkat pengangguran lebih dari 3 persen.
Baca Juga : Sederet Indikasi Beringsutnya Ekonomi China |
---|
Dalam skenario tersebut, the Fed diperkirakan mulai menurunkan suku bunga pada kuartal IV/2023, turun menjadi 2,625 persen, dan diikuti bank sentral Eropa (ECB) dengan menurunkan suku bunga pada 2024.
Sementara untuk skenario yang lebih optimistis, perlambatan harga diperkirakan lebih cepat di AS dan kawasan Eropa, didorong oleh normalisasi rantai pasokan, penurunan tekanan inflasi perumahan, dan pengembalian ke margin perusahaan yang lebih sempit.
Situasi ini akan memperlambat inflasi, sehingga memungkinkan bank-bank sentral untuk menormalkan kebijakan dengan lebih cepat, sekaligus mengimplikasikan pendapatan riil yang lebih tinggi.
Dukungan ekstra tersebut mendorong siklus investasi dan pasar tenaga kerja yang lebih kuat, yang kemudian mengarah pada kenaikan upah riil dan belanja konsumen yang lebih kuat.