Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Anggota DPR Wanti-wanti Pemerintah soal Pengelolaan Utang

Berikut pernyataan anggota DPR RI Misbakhun soal pengelolaan utang di era pemerintahan Jokowi.
Ilustrasi rasio utang pemerintah. Dok. Freepik
Ilustrasi rasio utang pemerintah. Dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyoroti cara menghitung utang dan pengelolaan utang pemerintah selama ini.

Dia menyampaikan bahwa pemerintah selama ini belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya konsep utang. Penjelasan yang diberikan pemerintah, kata dia, yaitu utang pemerintah belum melewati batas dan belum melanggar konstitusi.

Pemerintah pun selalu membandingkan rasio utang Indonesia yang sebesar 39 persen dari PDB dengan utang Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, dan Jepang yang hampir mencapai 200 persen dari PDB Jepang. Padahal, perbandingan tersebut menurutnya tidak tepat. 

"Rasio utang sebesar 39 persen dari PDB yang dicatat pemerintah hanya utang terkait pembiayaan APBN. Sementara itu, pemerintah masih memiliki utang lain yang memberikan risiko pada APBN dan keuangan negara," katanya dalam diskusi Indef yang disiarkan melalui Twitter Space, Selasa (6/6/2023).

Dia menjelaskan pasal 12 UU No. 17/2003 tentang keuangan negara, ayat 3 hanya menyebutkan rasio utang pemerintah maksimal 60 persen PDB. Namun, rasio 60 persen tersebut tidak disebutkan rasio utang atas pembiayaan APBN, tapi dinyatakan rasio atas utang yang bersifat umum.

Semestinya, Misbakhun mengatakan, seluruh utang harus dicatat untuk memitigasi risiko gagal bayar.

“Pelajaran saat krisis moneter 1998. semua utang swasta tiba-tiba menjadi kewajiban pemerintah karena pemerintah memutuskan untuk mem-bailout utang swasta, itu akibat kita tidak memitigasi risiko utang,” imbuhnya. 

Dia mengatakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, utang pemerintah dari yang sebesar Rp900 triliun melonjak ke Rp1.400 triliun karena ada tambahan Rp600 triliun utang baru. Hal ini akibat bailout utang swasta di bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penerbitan obligasi untuk merekap itu.

Oleh karena itu, Misbakhun menilai bahwa utang BUMN harus diakui pemerintah sesuai dengan sistem akuntansi pemerintahan yang disepakati International Financial Accounting Standard (IFRS).

Hal ini mengingat risiko sebagai pemegang saham utang BUMN oleh pemerintah digolongkan sebagai contingent debt. Dengan alasan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka risiko tersebut tidak dicatat dalam pencatatan utang.

“Istilah keuangan negara dipisahkan sebenarnya dalam pengelolaan, tapi tidak dalam risiko. Contoh, dalam kasus BUMN yang dipailitkan seperti pabrik kertas Leces, Merpati, kertas Basuki Rahmat, atau lainnya, pemerintah bertanggung jawab penuh dan menggunakan skema APBN,” jelasnya.

Hal yang sama terjadi pada kasus Jiwasraya yang mendapat suntikan dari APBN sebesar Rp20 triliun, itu mempengaruhi postur belanja APBN melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN).

“Kenapa kita hanya mencatat aset dan tidak mencatat utangnya? Padalah angka Rp20 triliun itu semula tidak nampak dalam neraca kita,” kata Misbakhun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper