Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha meminta pemerintah untuk memberikan stimulasi konsumsi yang sifatnya produktif seperti stimulasi dan perluasan usaha untuk mendongkrak konsumsi masyarakat. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan stimulasi konsumsi/daya beli secara berlebihan karena tingkat inflasi sudah terkendali.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi periode Mei 2023 secara bulanan 0,09 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan pemerintah saat ini hanya perlu melakukan stimulasi konsumsi secara moderat dalam jangka pendek-menengah.
“Jadi bentuk intervensi yang ideal lebih kepada stimulasi investasi dan perluasan usaha. Ini bisa dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk seperti peningkatan insentif investasi, perluasan pinjaman usaha dengan bunga ringan untuk UMKM, deregulasi dan simplifikasi prosedur ekspor, dll,” ujar Shinta merespons catatan inflasi periode Mei kepada Bisnis.com, Senin (5/6/2023).
Menurut Shinta, pertumbuhan konsumsi jika distimulasi secara berlebihan misalnya seperti pada masa pandemi (2020-2021) akan mengganggu capaian inflasi/potensi overheating dan tidak akan sustainable untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya secara tidak langsung akan menciptakan kondisi yang sama dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa ketika mereka mengalami pandemi, yakni overstimulasi konsumsi domestik sehingga inflasinya menjadi tidak terkendali.
“Karena itu saya rasa, stimulasi konsumsi pasar domestik yang lebih berguna untuk jangka pendek bisa dilakukan dengan penurunan pajak PPN, pencairan THR PNS, distribusi subsidi-subsidi yang sudah dianggarkan, dan realisasi APBN yang lebih cepat sudah cukup,” jelas Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu.
Baca Juga
Dia menilai tidak ada urgensi untuk menciptakan stimulasi lain yang sifatnya lebih konsumtif.
“Sebaiknya insentif produktif seperti yang disebutkan sebelumnya agar daya beli masyarakat terdongkrak secara berkelanjutan,” ucap Shinta.
Lebih lanjut, terkait pelemahan permintaan pasar, khususnya pasar internasional, Shinta menilai tidak banyak yang bisa dilakukan. Dia menurutkan, apabila Indonesia mau meningkatkan perdagangan/ekspor dengan kondisi saat ini hanya ada tiga cara.
“Yakni diversifikasi pasar tujuan ekspor, diversifikasi produk ekspor unggulan dan peningkatan affordability serta daya saing faktor produksi di dalam negeri termasuk segala hal yang menyangkut pembiayaan dan supply chain ekspor manufaktur,” kata Shinta.
Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan angka inflasi dari tahun ke tahun (year-on-year) menjadi 4 persen jika dibandingkan dengan Mei 2022. "Inflasi Mei 2023 secara bulan ke bulan lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 0,33 persen, dan lebih rendah dari inflasi di bulan yang sama di tahun lalu yang sebesar 0,40 persen," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini, Senin (5/6/2023).
Dia mengatakan pihaknya tidak bisa mengindikasikan bahwa penurunan inflasi ini disebabkan karena daya beli masyarakat yang turun. Karena penurunan permintaan hanya terjadi khususnya pada barang-barang manufaktur.
"Kita tidak bisa menyatakan indikasi melemahnya daya beli, kita bisa lihat ini karena sudah bekurangnya permintaan pasca Ramadan khususnya pada barang-barang hasil industri manufaktur," kata Pudji dalam konferensi pers, Senin (5/6/2023).
Adapun komponen yang mengalami permintaan yang tinggi ialah komponen harga bergejolak, yaitu bahan makanan dan minuman serta makanan dan minuman jadi.
"Ini terjadi karena mulai banyaknya kegiatan sosial seperti hajatan, pesta serta darma wisata jadi permintaan makanan jadi tinggi," jelasnya. Rendahnya inflasi Mei 2023, ini diredam oleh harga kelompok pakaian dan alas kaki serta transportasi. Pudji menyebut komoditas angkutan udara mengalami deflasi sebesar 0,06 persen.