Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Kesehatan: Industri, Buruh, dan Petani Tembakau Minta RDPU ke DPR

RUU Kesehatan yang memasukan tembakau setara dengan narkotika dinilai bakal mematikan ekosistem industri, mulai dari petani hingga buruh.
Petani tembakau memasang spanduk berisi tuntutan penolakan kenaikan tarif cukai rokok di kantor Kementerian Keuangan pada Senin (28/11/2022). JIBI/Wibi Pangestu Pratama.
Petani tembakau memasang spanduk berisi tuntutan penolakan kenaikan tarif cukai rokok di kantor Kementerian Keuangan pada Senin (28/11/2022). JIBI/Wibi Pangestu Pratama.

Bisnis.com, JAKARTA- Seluruh elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan sepakat meminta DPR RI mengakomodir aspirasi terkait RUU Kesehatan melalui  diakomodir aspirasinya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja Komisi IX DPR RI.

Seperti diketahui, polemik RUU Kesehatan, khususnya pasal 154 terkait Pasal Pengamanan Zat Adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika,  psikotropika, dan minuman beralkohol dianggap menimbulkan gejolak dan ancaman bagi keberlangsungan ekosistem pertembakauan.

Secara substansi, pengelompokkan tersebut yang notabene menyamakan tembakau dengan barang ilegal jelas menyalahi perundangan. Terlebih tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam Undang-Undang No.39/2014 Tentang Perkebunan.

Dari sisi hulu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) juga menilai Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan jelas melanggar hukum. APTI menekankan bahwa dampak polemik regulasi ini bukan hanya ke industri hasil tembakau (IHT).

"Industri mati, kami petani tembakau mati. Tembakau jelas komoditas legal. Kami kecewa, di saat kami sedamh menanam tembakau, diombang-ambingkan regulasi. Kalau kami tidak bisa menanam, kami mau seperti apa. Sampai saat ini,  belum ada komoditi di musim kemarau yang pendapatannya seperti tembakau. Harusnya negara melindungi keberadaan kami, ini justru napas kami mau dihentikan," ujar Samukrah, Ketua DPC APTI Pamekasan, Selasa (30/5/2023). 

Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSPRTMM) SPSI juga turut berkomitmen memperjuangkan masa depan ekosistem pertembakauan yang sedang ditekan regulasi diskriminatif.

"Kalau ada regulasi yang menghancurkan sawah ladang kami, pasti kami lawan. Kami, para pekerja akan terus mengawal dan memperjuangkan mata pencaharian kami. Mengapa di negara kita, pemangku kebijakan dan pembuat regulasi ini berulang-ulang membuat keputusan yang bertentangan. Menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol berarti menyamakan kami dengan pekerja ilegal. Apakah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan baru?" kata Iyus Ruslan, Sekjen FSPRTMM SPSI.

Senada dengan Iyus, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto menekankan bahwa industri selalu menaati setiap regulasi pertembakauan yang diterapkan pemerintah. Namun, pada praktiknya, IHT masih terus ditekan bukan diberikan perlindungan.

"Kami terus berupaya mengawal masa depan ekosistem pertembakauan. Jangan sampai pembuat kebijakan semena-mena, tidak melihat dan mendengarkan realita di lapangan," ujar Heri.

Perwakilan konsumen, Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LeKRI) memaparkan bahwa sejak lama perokok mendapatkan stigma negatif. Tak sampai di situ saja, kini upaya kriminalisasi terhadap konsumen dilakukan melalui upaya meloloskan Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan.

"Sedari dulu konsumen merasakan ketidakadilan. Kalau mau fair, yang mengandung zat adiktif bukan hanya tembakau. Lalu mengapa hanya tembakau dan ekosistem di dalamnya, termasuk konsumen yang terus ditekan dan dikriminalisasi. Konsumen bersama seluruh elemen ekosistem pertembakauan harus menggalang kekuatan untuk melawan ketidakadilan ini," ujar Wakil Ketua LeKRI, dr Ali Sujoko.

Ali Rido, Pengamat Hukum Universitas Trisakti berpandangan polemik Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI). Mengutip pandangan MK bahwa ekosistem pertembakauan adalah entitas yang legal, maka dibutuhkan perlindungan seperti perlinduangan hukum dan pemenuhan.

"Hukum telah menegaskan bahwa ekosistem pertembakauan adalah konstitusional yang harus dilindungi. Maka, ketika muncul pasal 154 mengenai Pengamanan Zat Adiktif di RUU Kesehatan, yang membuat tembakau satu rumpun, satu golongan dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol menjadi sangat tidak logis. Bagaimama bisa mengelompokkan entitas yang legal dan tidak legal," tegas Ali Rido.

Dari aspek materil, Ali Rido juga menuturkan bahwa rezim pengaturan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol, sesungguhnya telah memiliki rezim pengaturan sendiri, yakni UU No 35/2009 tentang Narkotika dan Perpres No 74 Tahun 2013. Dengan demikian, tidak tepat jika pengaturannya turut dimasukkan dalam RUU Kesehatan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper