Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Kesehatan, Kemenperin Tolak Tembakau Disetarakan Narkotika

Menperin Agus Gumiwang menyatakan telah menyurati berbagai pihak terkait penolakan kementerian soal RUU Kesehatan yang menyetarakan tembakau layaknya Narkotika.
Petani mengangkat tembakau yang telah dijemur di Desa Banyuresmi, Sukasari, Kabupaten Sumedang, Senin (20/6/2022). Bisnis/Rachman
Petani mengangkat tembakau yang telah dijemur di Desa Banyuresmi, Sukasari, Kabupaten Sumedang, Senin (20/6/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyarankan agar Rancangan Undang-Undang Kesehatan dipertimbangkan kembali. Utamanya pasal 154 ayat 3 yang menyetarakan tembakau dengan narkotika, keduanya masuk ke dalam bagian zat adiktif.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan pihaknya sudah menolak RUU tersebut, juga sudah mengirim surat penolakan.

“Kami keberatan itu [Pasal 154 RUU Kesehatan], kami sudah kirim surat,” kata Agus saat ditemui di kantor Kemenperin pada Rabu (10/5/2023).

“Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya,” tulis pasal 154 ayat 3 RUU tersebut.

Hasil tembakau dalam poin d ayat 3 pasal tersebut kemudian diperjelas dengan ayat 6 pasal yang sama, dengan bunyi: “Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa: a. sigaret; b. cerutu; c. rokok daun; d. tembakau iris; dan e. tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok elektrik."

Senada dengan Agus, Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika menyebutkan pihaknya telah melakukan koordinasi untuk mempertimbangkan kembali pengelompokan hasil tembakau dengan narkotika dalam RUU tersebut. 

Menurutnya, pengelompokan tembakau dengan narkotika sebagai zat adiktif dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman publik dan menganggap hasil tembakau ataupun tembakau setara dengan narkotika.

“Kita memang sudah melakukan komunikasi, sudah mendiskusikan untuk mempertimbangkan kembali pengelompokan tersebut. Jadi memang sudah dalam proses agar tidak disalahmengertikan,” jelas Putu saat ditemui di kantor Kemenperin pada Rabu (10/5/2023).

Dalam hal ini, Putu menuturkan kementerian menggandeng berbagai instansi terkait untuk melakukan diskusi terkait pengelompokan tembakau dengan narkotika ini.

“Kita saat ini sudah mempunyai forum yang sangat bagus yaitu dalam menyusun roadmap. Jadi roadmap untuk pertembakauan. Dimana semua stakeholder itu dari pertanian, perdagangan, bea cukai, keuangan dan kesehatan juga itu ada di dalamnya,” tambah Putu.

Dengan demikian, Putu mengungkapkan Kemenperin sudah siap untuk mendiskusikan hal ini, terlebih berbagai Deputi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga sudah mulai melirik Pasal 154 RUU ini.

Sebaliknya, berbeda dengan Menperin, Putu mengungkapkan sejauh ini kementerian belum menyurati secara resmi Kemenkes maupun Kemenkum HAM terkait penolakan tersebut.

“Kita belum melalui surat seperti itu ya. Kalau yang melalui surat itu dari asosiasi yang disampaikan ke Komisi Dewan yang mengurus isu tersebut, tebusannya juga banyak, yang isinya menyampaikan keberatan atas rencana pengelompokan itu,” jelas Putu.

Hingga saat ini, Putu menyebut pihaknya belum melakukan kajian terhadap dampak ekonomi yang akan mendera industri tembakau jika RUU ini diketok. Namun pihaknya tetap menyarankan pengelompokan tembakau dengan narkotika ini direvisi.

“Kalau kajiannya  ya memang belum. Karena ini baru diangkat isunya. Ini ini kita lakukan kajian-kajian yang menguatkan bahwa itu tidak baik, dan juga menganjurkan bagaimana pengelompokan yang bagus,” pungkas Putu.

Penolakan juga datang dari DPR. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo juga mengaku merasa keberatan dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Omnibus law Kesehatan yang tertuang di Pasal 154. 

"Komisi IX DPR masih membahas kelanjutan sebuah rancangan RUU yang menjadi Omnibus Law tentang Kesehatan, tetapi yang mengejutkan adalah adanya DIM dari pemerintah yang narasinya itu menurut pandangan kami tidak sesuai dengan pengusul, yakni tentang pasal yang menyangkut tembakau yang disetarakan dengan narkotika atau narkoba," kata Firman dalam keterangannya dikutip (11/5/2023). 

Menurutnya, produk tembakau adalah komoditas dan produk legal yang telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional. Terlebih menurutnya, belum ada hasil kajian yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga tembakau tidak bisa digeneralisir masuk kategori narkoba. 

"Sehingga tidak bisa dikelompokan ke dalam kategori narkoba atau psikotropika yang memang jelas telah dilarang di Indonesia," tambahnya. 

Selain itu, dari sisi sosial kemasyarakatan, Firman menuturkan banyaknya SDM yang bergantung dengan perusahaan rokok dengan mayoritas adalah perempuan. Bahkan menurutnya, jumlah tenaga kerja perempuan di sektor tembakau mencapai lebih dari lima juta pekerja.

Di sisi lain, menurutnya tembakau juga telah memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara dengan pajak cukainya. Jika tembakau dikategorikan sebagai narkoba dan dibumihanguskan, dia menilai hak hidup para petani dan karyawan akan hilang oleh satu pasal ini. 

"Kita harus jujur bahwa penerimaan negara mencapai Rp178 triliun. Tembakau juga mensubsidi BPJS Kesehatan. Kondisi inilah yang harus dipikirkan oleh negara," tutup Firman. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Widya Islamiati
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper