Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah masih melanjutkan perundingan untuk mendapat akses pada kredit pajak konsumen atau consumer tax credit yang masuk dalam struktur insentif kendaraan listrik Inflation Reduction Act (IRA) Amerika Serikat (AS)
Seperti diketahui, IRA memperketat kriteria mineral logam yang dapat menerima insentif kendaraan listrik yang dialokasikan pemerintah AS selepas 2023. Adapun, undang-undang itu menghimpun dana subsidi sebesar US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih.
Beberapa kriteria itu di antaranya mewajibkan mineral logam diolah di AS serta bahan baku yang diperoleh mesti berasal dari sejumlah negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan pemerintah AS.
“Permasalahnnya nanti dengan kredit pajak konsumen ini akan datang dari regulasi soal entitas asing yang jadi konsen [foreign entity of concern],” kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, saat Indonesia International Nickel & Cobalt Industry Chain Summit di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Seto mengatakan mayoritas investasi pada sisi pengolahan bijih nikel di Indonesia masih berasal dari perusahaan China. Situasi itu telah disampaikan pemerintah kepada perwakilan AS lewat beberapa kali pertemuan sepanjang awal tahun ini.
Menurut Seto, perusahaan asal China relatif memiliki kemampuan yang unggul untuk pengolahan antara bijih nikel. Malahan, China menguasai mayoritas pangsa pasar untuk pengolahan bijih nikel dari sisi teknologi High-Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik lanjutan.
Baca Juga
“Saya bilang ke mitra kita di AS, sangat mustahil jika kita tidak memasukkan China karena mereka yang menguasai teknologi HPAL tersebut,” ujarnya.
Dengan demikian, dia mengatakan, pemerintah belakangan tengah menyusun ulang komposisi investasi domestik di bidang penghiliran mineral kritis Indonesia. Harapannya, pengaturan ulang investasi di sisi penghiliran mineral kritis itu dapat sesuai dengan kebijakan insentif yang diamanatkan dalam IRA.
Hanya saja, dia mengakui, pengaturan ulang investasi pada sisi pengolahan bahan mentah terbilang sulit untuk dilakukan saat ini.
“Kita perlu mengatur ulang investasi yang lebih sesuai dengan regulasi soal foreign entity of concern tersebut, tapi saya pikir pada sisi pengolahan akan sangat menantang,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Korea Selatan (Korsel) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencari solusi atas kebijakan IRA Amerika Serikat yang telah mengubah peta investasi global saat ini.
Permintaan itu disampaikan berkaitan dengan komitmen konsorsium LG Energy Solution (LG) agar tetap berinvestasi pada sisi penghiliran bijih nikel menjadi baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dalam usaha patungan bersama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC).
“Tadi pemerintah Korea Selatan juga minta perhatian khusus ke Presiden [Jokowi] menyangkut dengan perjanjian kita dengan Amerika Serikat, menyangkut IRA, rantai pasok,” kata Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/5/2023).
Bahlil menuturkan kekhawatiran Korea Selatan itu relatif beralasan menyusul kebijakan Amerika Serikat yang belakangan cukup agresif untuk mengimbangi persaingan dagang serta investasi penghiliran mineral kritis serta pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dari beberapa negara kompetitor, seperti China dan Uni Eropa.
Penggunaan komponen baterai berbahan baku mineral kritis yang berasal dari Indonesia dikhawatirkan tidak akan mendapat insentif kredit pajak IRA AS. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri hulu bijih nikel di dalam negeri.
“Global sekarang dalam kondisi tarik menarik kepentingan, akhir-akhir ini Amerika Serikat dan Eropa mulai berpikir bahwa salah satu negara yang investasinya kalau terlalu banyak cenderung keberpihakannya itu akan dikenakan pajak dumping di sana,” kata Bahlil.
Adapun, konsorsium LG lewat HoA yang ditandatangani pada awal 2021 lalu menggandeng beberapa rekanan produsen dan manufaktur yang mayoritas berbasis di Korea Selatan, seperti LG Energy Solution, LG Chem, LG Internasional dan Posco. Sedangkan satu mitra mereka berasal dari China, yakni Huayou Holding.
Saat itu, Konsorsium LG berkomitmen untuk berinvestasi sekitar US$8 miliar atau setara dengan Rp122,79 triliun pada penghiliran bijih nikel menjadi baterai listrik lewat Proyek Titan.