Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Clean Energy Working Group Indonesia-Amerika Serikat. Kesepakatan ini menandai pendirian kelompok kerja untuk pengembangan energi bersih di Indonesia.
Energi bersih sendiri memiliki konsep yang luas yakni dari listrik, peralatan elektronik ramah energi, hingga kendaraan listrik.
MoU tersebut ditandatangani Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana bersama dengan Assistant Secretary of Commerce dan Director General of the U.S. and Foreign Commercial Service, U.S. Department of Commerce Arun Venkataraman di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Rida menyampaikan MoU Clean Energy Working Group akan menjadi dasar kerja sama bilateral di bidang energi bersih antar kedua negara mendatang.
"Ini akan mencakup berbagai bidang, seperti CCUS, keamanan siber, teknologi SMR, panas bumi, bioetanol, dan teknologi kota pintar untuk ibu kota baru, Ibu Kota Negara,” kata Rida dalam sambutannya setelah penandatangan MoU di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (16/3/2023) seperti dikutip dari siaran pers.
Rida mengatakan Pemerintah Indonesia bakal menggunakan Working Group itu untuk mendukung tujuan elektrifikasi dan pembangunan ketenagalistrikan Indonesia, dengan fokus awal untuk membantu Indonesia mencapai 23 persen bauran energi dari energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 dan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Baca Juga
Lewat kesepakatan ini, Rida mengundang badan usaha Amerika Serikat untuk meningkatkan investasi serta ahli teknologi transisi energi di Indonesia.
“Dari sisi regulasi, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang telah dikeluarkan adalah wujud komitmen pemerintah dalam upaya percepatan pengembangan EBT secara nasional," kata dia.
Selain pengembangan EBT, pemerintah juga ikut memfokuskan peluang pendanaan untuk hilirisasi komoditas mineral lewat kerja sama tersebut. Menurut dia, pemerintah belakangan berupaya untuk menghimpun pendanaan global untuk mendorong hilirisasi lebih lanjut mineral menjadi baterai kendaraan listrik, energy storage dan produk turunan lainnya.
"Indonesia memerlukan dukungan bagaimana bisa melakukan hilirisasi dari mineral kritis. Hilirisasi yang itu semua dikaitkan dengan transisi energi,” kata dia.
Di sisi lain, dia berharap kesepakatan itu dapat memperbaiki proses bisnis, termasuk di dalamnya penyederhanaan perizinan. Dengan demikian, kata dia, pertumbuhan investasi untuk pengembangan EBT dapat diakselerasi ke depan.
"Selain peningkatan investasi, kepastian dalam dukungan pembiayaan diperlukan dalam rangka mencapai target NZE 2060. Tidak hanya Amerika Serikat, beberapa negara maju lain turut berperan serta khususnya dalam kerangka JETP, seperti Jerman, Jepang, dan Norwegia, sesuai hasil KTT G20 tahun lalu," tuturnya.
Sebagai informasi, MOU Clean Energy Working Group merupakan kesepakatan terkait dengan pendirian kelompok kerja untuk pengembangan energi bersih di Indonesia. Kesepakatan ini bakal menggantikan MoU Indonesia - Amerika Serikat Power Working Group for Indonesia yang telah ditandatangani pada 2015 soal program 35 gigawatt (GW).
Adapun bidang kerja sama yang tercakup dalam MoU Clean Energy Working Group adalah supergrid dan smart grid, pengurangan penggunaan pembangkit diesel, Teknologi Small Modular Reactor (SMR), cyber security, Carbon Capture and Utilization Storage (CCUS); microgrid, digitalisasi, energy storage, smart city, efisiensi pembangkit, bioetanol, dan panas bumi.
MoU ini dapat menjadi payung kerja sama Kementerian ESDM dan U.S. Department of Commerce dengan fokus awal untuk membantu Indonesia mencapai tujuan 23 persen kontribusi jaringan energi terbarukan pada tahun 2025 dan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.