Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Atasi Ketimpangan Kesejahteraan Petani Sawit & Perusahaan, Kementan Dorong Skema FKPM

Skema FKPM mewajibkan perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20 persen dari luas lahan tersebut.
Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat
Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong terwujudnya pola kemitraan yang kuat antara petani dan perusahaan sebagai salah satu solusi mengatasi ketimpangan kesejahteraan di sektor perkebunan.

Salah satunya melalui kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebagai skema kemitraan baru setelah berakhirnya program pemerintah yang 'mengawinkan' perusahaan dengan petani seperti Program Inti Rakyat (PIR) Bun, PIR NES, PIR KKPA.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto mengatakan, pola FPKM oleh perusahaan perkebunan dimulai sejak Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, sebagaimana telah diubah melalui Permentan No. 98 Tahun 2013 dan dikuatkan dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang.

“Dengan berakhirnya berbagai program PIR tadi sekitar 2005. Maka pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar menjadi salah satu solusi mengatasi ketimpangan kesejahteraan di perkebunan dan menjaga hubungan yang harmonis antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya,” ujar dia dalam acara diskusi di Jakarta, dikutip Sabtu (27/5/2023).

Heru menambahkan, ada tiga fase pelaksanaan FPKM oleh perusahaan perkebunan. Fase pertama ini berlaku bagi perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan sebelum 28 Februari 2007. Khusus bagi perusahaan perkebunan yang telah melaksanakan kemitraan melalui pola PIR-BUN, PIR-TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerja sama inti-plasma lainnya dianggap telah melakukan FPKM dan tidak dikenakan kembali kewajiban FPKM.

“Kalaupun belum mengimplementasikan FPKM, perusahaan dapat memilih pola usaha produktif sebagaimana diatur Pasal 7 Permentan 18/2021,” ujar Heru.

Fase kedua dijalankan oleh perusahaan yang memiliki perizinan usaha perkebunan setelah 28 Februari 2007 sampai dengan 2 November 2020. Di fase ini, pemerintah memberikan kemudahan dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan, jumlah keluarga masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta dan kesepakatan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar.

“Apabila tidak terdapat lahan untuk dilakukan FPKM sesuai lokasi dalam kewenangan perizinan, maka dilakukan kegiatan usaha produktif sesuai kesepakatan antara perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar,” jelas Heru.

Berikutnya, bagi perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan setelah 2 November 2020. Perusahaan yang izin usaha budidaya untuk lahan seluruh atau sebagian dari APL (areal penggunaan lain) di luar HGU dan pelepasan kawasan hutan diwajibkan menjalankan FPKM. Maka, perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20 persen dari luas lahan tersebut.

Sesuai Permentan No. 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar, perusahaan diberikan berbagai opsi kemitraan antara lain melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan bentuk kemitraan lainnya.

Kompartemen Sosialisasi dan Kebijakan PSR Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Muhammad Iqbal menyampaikan bahwa Gapki mendukung regulasi pemerintah yang mengatur kemitraan dalam hal ini FPKM.

Melalui kemitraan, petani dapat meningkatkan pendapatan, kualitas tanaman, dan jaminan pembelian TBS dari perusahaan mitra. Melalui kemitraan, kebun akan dikelola lebih profesional, kerja sama dengan mitra usaha membuka peluang-peluang baru, serta membangkitkan solidaritas bersama di kebun kelapa sawit.

Kemitraan lainnya harus bersifat usaha produktif yang berkelanjutan dan juga sebaliknya. Menurut dia, nilai optimum sebagai dasar pelaksanaan kemitraan lainnya tidak bisa menjadi hibah dari perusahaan sebagai pengganti pendapatan seperti pendapatan hasil dari kebun plasma. Hal itu agar tercipta rasa tanggung jawab dari keberlangsungan kemitraan.

"Selain itu, pelaksanaan kemitraan menjadi tanggung jawab bersama lembaga pekebun dan perusahaan mitra serta pengelolaan Kemitraan Lainnya harus berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas, keterbukaan dan kesetaraan," ucap Iqbal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper